Data yang dicuri meliputi informasi sensitif yang menjadi subjek permintaan penegakan hukum AS.
Meski sejauh ini kurang dari 150 korban diberitahu oleh FBI, dampaknya kemungkinan jauh lebih luas.
Para peretas diduga memiliki akses ke data komunikasi ribuan individu lainnya yang terkait secara tidak langsung melalui panggilan atau pesan.
Nama Besar Diduga Jadi Target
Washington Post melaporkan bahwa salah satu korban adalah penasihat untuk kampanye Presiden terpilih Donald Trump.
HAl itu menimbulkan spekulasi bahwa informasi sensitif dari kampanye juga ikut tersadap.
Namun, belum ada konfirmasi apakah data tersebut digunakan atau terkait dengan permintaan penegakan hukum AS.
Respons Beijing
Beijing membantah keras tuduhan ini, menyebutnya sebagai upaya Washington untuk mencemarkan nama baik Tiongkok.
Kedutaan Besar Tiongkok di Washington menegaskan tidak mengetahui kelompok 'Salt Typhoon' dan menuduh AS memalsukan bukti demi menciptakan narasi negatif terhadap Tiongkok.
Ancaman Siber yang Tak Kunjung Usai
Kasus ini menunjukkan bahwa ancaman siber dari aktor negara terus meningkat, menimbulkan pertanyaan serius tentang keamanan data di sektor vital seperti telekomunikasi.
Dengan skala pelanggaran yang belum sepenuhnya terungkap, pemerintah AS kini menghadapi tantangan besar untuk melindungi infrastruktur digital negara dari ancaman di masa depan.
Pertemuan darurat di Gedung Putih ini diharapkan dapat menjadi awal dari langkah tegas untuk menutup celah keamanan dan mencegah insiden serupa terjadi lagi.***
Artikel Terkait
Innalillahi, Inilah Profil Yahya Sinwar, Pemimpin Hamas Dilaporkan Meninggal Dunia Usai Digempur Kendaraan Tempur Israel Videonya Viral
BRICS Akan Membahas Sistem Keuangan Global Baru untuk Menggantikan Transaksi Dolar dalam Pembayaran Internasional
IMF Adalah Alat Pemerintahan Barat dan NATO
Proyeksi Kemenangan Trump dalam Pilpres AS Telah Memperkuat Nilai Dolar di Pasar Keuangan
Ini Janji Donald Trump usai Menang Pilpres 2024 Kalahkan Kamala Harris