KLIKANGGARAN -- Cerpen epik Bulan Terbingkai Jendela karya Indra Tranggono bukan sekadar menghadirkan kisah. Cerpen ini memaparkan realitas kompleks dan dinamika sosial pada era Orde Lama di Indonesia.
Cerpen bulan terbingkai jendela tidak hanya memberikan makna, tetapi juga mengungkap fakta sosial berupa norma, gejala, dan hukum sebagai elemen-elemen penting dalam kisah kehidupan masyarakat.
Gangsar, seorang pemuda berambisi dan beridealisasi, membawa kita melampaui batas seni sebagai sekadar ekspresi pribadi.
Baginya, seni adalah alat yang memegang peran penting dalam mengubah pemandangan sosial. Dengan semangatnya, seni bukan hanya menjadi wujud ekspresi, tetapi juga alat propaganda yang membangkitkan semangat dan kesadaran di kalangan rakyat kecil yang terpinggirkan.
Ambisi ini menciptakan fakta sosial yang mencolok, membawa perubahan dalam perjuangan untuk hak-hak rakyat, menjadikan Gangsar sebagai suara yang bukan hanya berkarya, tetapi juga berbicara bagi mereka yang tak terdengar.
Berlatar belakang politik dan sosial tahun 60-an, gejala sosial menjadi elemen kunci yang menggambarkan dinamika ketegangan antara golongan politik kanan dan kiri.
Masyarakat petani, sebagai perwakilan golongan bawah, merasakan penderitaan karena sengketa tanah yang diakibatkan oleh pertarungan politik.
Gangsar, sebagai anggota Lekra, muncul sebagai tokoh yang memancarkan suara bagi rakyat kecil, membuka mata terhadap dinamika politik yang merasuki setiap aspek kehidupan masyarakat.
Norma sosial tercermin melalui semangat gotong royong kelompok seni Gangsar, menjadi pondasi moral dalam menghadapi ketidakadilan.
Kebersamaan dan pengorbanan bagi kepentingan bersama menjadi nilai yang dijunjung tinggi, membuktikan bahwa fakta sosial ini bukan hanya sebagai perekat dalam perjuangan mereka, tetapi juga sebagai tonggak moral yang memberi arah.
Ironi hukum yang muncul melalui penangkapan Asih tanpa proses hukum yang jelas mencerminkan puncak dari kekejaman rezim pada masa itu.
Pemain sandiwara ini dihadapkan pada tindakan main hakim sendiri, menggambarkan bobroknya sistem hukum pada masa tersebut.
Hukum tidak lagi berfungsi sebagai penegak keadilan, melainkan sebagai alat untuk menumpas kelompok yang dianggap sebagai ancaman, tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan.
Artikel Terkait
Wow, Sangat Menarik Nih, Puisi 17 NKN dalam 5 Bahasa!
Pelisaurus dan Cerita Lainnya: Menertawakan Kegetiran Melalui Humor Segar Ala Gunawan Tri Atmodjo
Quo Vadis Pendidikan Kita?
Inilah Cara Suksesi di Kerajaan Mataram Islam mulai dari Ki Ageng Pemanahan hingga Terbelahnya Mataram Islam
Cakra Manggilingan: Jangan Sekali-kali Mencela Pemimpinmu Secara Brutal, Jika Tidak Ingin Celaka
Gadis Kretek: Perbedaan Latar Pertemuan Jeng Yah dan Soeraja antara Novel dan Film
Aceh dan Lukisannya yang Berdarah: Sebuah Representasi Budaya
Pesugihan dalam Cerpen “Warung Penajem” Karya Ahmad Tohari
Menapaki Kekuatan Diri dan Spiritualitas dalam Cerpen 'Ada Tuhan' Karya Lianatasya