Petisi Tolak Kebijakan Obral Remisi Untuk Koruptor

photo author
- Selasa, 30 Agustus 2016 | 04:55 WIB
images_berita_Ags16_1-PETISI
images_berita_Ags16_1-PETISI

Jakarta, Klikanggaran.com - Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa remisi atau pemotongan masa pidana sebanyak 6 bulan, sedangkan Nazaruddin dapat remisi sebanyak 5 bulan. Belum lagi satu tahun, para terpidana kasus korupsi (koruptor) bisa mendapat lebih dari satu kali remisi. Terbayang bukan, jika syarat pemberian remisi kepada koruptor lebih diperlonggar?

Hal ini memacing sejumlah aktivis untuk membuat petisi, dengan judul “Tolak Kebijakan Obral Remisi untuk Koruptor”, yang berdasarkan informasi rencananya akan dikirim kepada Presiden Republik Indonesia, Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM, Yosanna Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D.

 

Dalam petisi tersebut mengatakan bahwa, meskipun sudah banyak penolakan, ternyata Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM masih tetap pada pendiriannya untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP/2012) -  yang selama ini mengetatkan pemberian remisi kepada napi korupsi. Singkatnya, dalam substansi Revisi PP 99/2012 Pemerintah bermaksud untuk melonggarkan syarat atau obral pemberian remisi agar koruptor tidak perlu berlama-lama di penjara.

Apa sih alasannya PP 99/2012 ingin direvisi? Karena menurut Menteri Yasonna Laoly, penjara sudah kelebihan muatan (over capacity) dan hal itu diakibatkan oleh adanya syarat napi tersebut harus mau bekerjasama (Justice Collaborator-JC) yang menyulitkan pemberian remisi. Lalu, apa alasan kita harus menolak Revisi PP 99/2012, yang subtansinya masih menguntungkan koruptor?

Pertama, ada upaya pengaburan informasi dari Pemerintah. Sekitar akhir 2015, wacana Revisi PP 99/2012 menyeruak. Wacana tersebut memunculkan penolakan keras dari publik, yang mengakibatkan wacana Revisi PP 99/2012 tenggelam. Ternyata, upaya untuk merevisi PP 99/2012 tidak serta merta hilang, karena pada sekitar Juli 2016 muncul Draft Revisi PP/2012 dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Warga Binaan (RPP Warga Binaan).

Dalam RPP Warga Binaan, peraturan tentang pemberian remisi kepada napi korupsi merupakan bagian kecil dari keseluruhan subtansi RPP Warga Binaan. Perubahan ini tidak serta merta disebut sebagai revisi PP 99/2012, meskipun PP tersebut tetap dicabut jika RPP ini disahkan. Sehingga, penolakan publik tidak sekeras ketika ada wacana Revisi PP 99/ 2012. Tapi ternyata, syarat menjadi justice collaborator (JC) atau pelaku kejahatan yang bekerjasama tetap dihapus.

Kedua, Syarat Remisi kepada napi korupsi sangat longgar. Pasal 32 ayat (1) dan (2) RPP Warga Binaan hanya menyaratkan 3 (tiga) hal untuk seorang napi korupsi dalam memperoleh remisi yaitu, telah menjalani 1/3 masa pidana, telah membayar lunas pidana denda dan pidana tambahan uang pengganti, dan berkelakuan baik. Syarat tentang keharusan memiliki status JC dihapus, pemberian remisi kepada napi korupsi menjadi lebih mudah diberikan.

Mengapa status JC penting? Status JC adalah “hadiah” yang diberikan oleh Penyidik maupun Penuntut Umum kepada tersangka maupun terdakwa yang sudah membantu proses penyidikan hingga penuntutan. Tujuan pemberiannya adalah agar pelaku-pelaku yang menjadi “korban” atau bukan sebagai pelaku utama, bisa memberikan keterangan yang akan meringankan dirinya sekaligus mengungkap pelaku-pelaku lainnya dan pelaku utama dalam perkara korupsi yang menjeratnya tersebut.

Ketiga, Over Capacity lapas bukan disebabkan oleh Napi Korupsi. Terkait dengan isu kelebihan kapasitas lapas, ada fakta menarik terkait hal tersebut. Muatan penjara yang berkelebihan bukan alasan yang bisa “dituduhkan” kepada napi korupsi, karena berdasarkan data resmi dari Ditjenpas Kemenkumham, jumlah keseluruhan napi dan tahanan di penjara dan rumah tahanan per Juli 2016 di seluruh Indonesia adalah 197.670 orang, sedangkan napi korupsi hanya berjumlah 3.894 orang atau hanya 1,96% dari total penghuni penjara dan tahanan.

Dengan alasan-alasan tersebut, jelas bahwa pelonggaran syarat remisi akan menguntungkan koruptor, padahal koruptor telah lebih dahulu merugikan kita, Warga Negara Indonesia.

Untuk itu, kami meminta agar:

1. Presiden Joko Widodo tidak mengesahkan Revisi PP 99/2012 atau RPP Warga Binaan yang subtansinya menguntungkan koruptor atau memberikan obral remisi untuk koruptor karena tidak sejalan dengan semangat Nawacita tentang penguatan upaya pemberantasan korupsi.

2. Menkumham, Yasonna Laoly membatalkan subtansi yang hanya menguntungkan koruptor dalam pembahasan RPP Warga Binaan dan mempertahankan PP 99/ 2012 sebagai upaya mencegah terjadinya obral remisi untuk koruptor.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X