Habislah Sudah Masa yang Suram, Selesai Sudah Pmii Jadi Penonton

photo author
- Senin, 19 April 2021 | 13:34 WIB
bendera pmii
bendera pmii

Syukur yang kedua adalah karena kita pewaris sah republik ini, yang karenanya memiliki hak sejarah untuk ikut mengatur republik Indonesia tercinta. Kenapa pewaris? Karena orang tua kita, NU dan pendahulu-pendahulunya, sudah menanam. Sudah banyak investasi kepada apa yang kita sebut hari ini sebagai NKRI. Dan, ini yang juga penting, bahwa kita, NU, tidak pernah memberontak. Tidak pernah terpikir apalagi berkehendak meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Sebab, NKRI adalah kita.


Boleh dikata NKRI adalah kita. Kita adalah NKRI. Kesetiaan kita, kaum Nahdliyyin dan warga pergerakan, terhadap NKRI tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.


Hak sejarah kaum Nahdliyyin, termasuk PMII, untuk ikut mengatur republik ini merupakan konsekuensi logis dari investasi besar NU dan para pendahulunya di masa lalu. NU terbukti merupakan pemegang saham terbesar NKRI. Jasa dan kontribusinya tidak bisa diingkari. Pun tidak bisa dihilangkan dari sejarah, walaupun ada saja yang berusaha menghilangkannya. Atau setidak-tidaknya mengaburkannya.


Kendati berjasa dan berkontribusi besar, NU tidak ingin memonopoli kekuasaan atas NKRI. Kaum Nahdliyyin hanya ingin memgambil hak untuk ikut mengatur. Sekali lagi, ikut mengatur, bukan memonopoli. Karena kita sadar banyak elemen bangsa lain yang juga berjasa dan berkontribusi pada NKRI. Tapi alangkah sadisnya, jika mengambil haknya saja masih dihalang-halangi. Lalu alangkah naifnya, jika kaum nahdliyyin mau terima begitu saja dikuyo-kuyo (disia-siakan) seperti pada masa kekuasaan otoriter Orde Baru. Atau semata dijadikan pasar politik murah pada masa reformasi dan sesudahnya.


Sejak sebelum Indonesia merdeka, NU sudah tampil sebagai kekuatan penting dalam perjuangan kemerdekaan. Beberapa poin di atas, yang menjelaskan benarnya NU dalam bernegara, menjadi bukti dari sebagian peranan NU dalam perjuangan kemerdekaan dan masa-masa awal berdirinya Republik.


Kontribusi nyata NU pada NKRI bisa kita telusuri pada setiap lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah, Sabilillah dan lain-lain, yang berdarah-darah melawan penjajah sebelum lahirnya kesatuan tentara nasional rata-rata dipimpin para kiai atau santri. Tonggaknya adalah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digelorakan KH Hasyim Asy'ari yang memicu perang 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.


Laskar-laskar itu boleh dibilang tak ada yang menjadi jenderal atau perwira tinggi di militer Indonesia. Mereka tidak mengalami mobilitas vertikal saat tentara organik NKRI dibentuk. Kenapa? Karena laskar-laskah kiai dan santri itu dihambat lantaran tidak punya ijazah. Mereka berkeringat dan berdarah-darah, tapi tak dihargai hanya karena tidak punya ijazah. Begitulah kebijakan RERA (Reorientasi dan Reorganisasi Tentara) menjungkalkan mimpi santri-santri untuk terus mengabdi pada NKRI di jalur kemiliteran. Cerita kecil ini menandai satu episode ‘genosida’ NU dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Episode ‘genosida’ lainnya bisa direnteng jika kita telusuri satu persatu.


Di luar perjuangan kemiliteran melalui laskar-laskar rakyat itu, peranan NU dan para pendahulunya menyentuh hampir semua bidang strategis. Pendahulu NU, misalnya, mengobarkan semangat kebangsaan melalui Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air, 1916), semangat kemandirian ekonomi melalui Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar, 1916), dan semangat kecendekiaan melalui Tashwirul Afkar (1918). Tiga organ ini adalah embrio lahirnya NU yang menggabungkan semangat Islam dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas.


Tulisan pendek ini hanya menyebut sebagian saja kontribusi NU pada NKRI, termasuk empat penanda penting keterikatan NU pada NKRI yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu: pemberian status fikih atas wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Hindia Belanda, penerimaan NKRI sebagai kesepakatan final (mu’ahadah wathaniyah), legitimasi Soekarno Ulil Amri yang sah secara fikih, dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah NKRI.


Dari paparan singkat ini, jelas NU bukan saja pemegang saham Republik ini, tapi malah pemegang saham terbesarnya. Tak akan ada Indonesia seperti sekarang tanpa peranan KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, dan para pendahulu NU. Tak akan ada Indonesia seperti sekarang ini tanpa jasa para kiai, kaum santri, dan warga Nahdliyyin. Tak akan ada Indonesia seperti sekarang ini tanpa NU.


Tak pelak jika dulu, ketika Soekarno terancam posisinya sebagai pemimpin bangsa dan Indonesia terancam terpecah-belah, KH Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU), berteriak lantang "Soekarno tanpa NO, Soekar! Boeng Karno tanpa NO, Boengkar!". NO adalah akronim lama dari Nahdlatoel Oelama.


*


Dengan sekelumit paparan di atas, PMII dan segenap warga pergerakan, sebagai anak kandung NU, tak boleh ragu untuk meyakini dirinya sebagai pemegang hak sejarah untuk ikut mengatur Republik ini. Keyakinan itu penting agar kita percaya diri berhadapan dengan entitas bangsa yang lain. Keyakinan itu penting agar kita tidak termakan narasi yang mengecilkan NU. Pemimpin NU, seperti dawuh Mbah Wahab Hasbullah, adalah mereka yang percaya akan kebesaran NU. Dengan kepercayaan itu, mereka bergerak di semua lini untuk memastikan kaum Nahdliyyin ikut mengatur NKRI tercinta ini.


Kebesaran NU dan peran kesejarahannya yang spektakuler tak hanya menimbulkan musuh-musuh. Tapi juga mitra-mitra kebangsaan yang ambigu. Jika musuh, ideologis maupun politis, menginginkan NU hancur dan terus di belakang, mitra yang ambigu mengambil posisi yang tidak kalah merugikan. Mereka tak ingin NU hancur apalagi mati. Tapi mereka juga tak ingin NU besar apalagi sampai memegang kekuasaan. Mereka ingin NU jadi pasukan, penonton atau pasar murah bagi apapun kepentingan mereka.


Pada titik ini, PMII dan segenap warga pergerakan harus waspada dan terus bergerak ke semua lini kekuasaan Republik. Ekonomi, politik, kebudayaan dan bidang-bidang strategis lain perlu menjadi perhatian bersama. Targetnya bukan untuk meneliti atau menonton, tetapi ikut ambil bagian dalam pengelolaan bidang-bidang strategis itu. Adapun tujuannya bukan untuk membuat pribadi-pribadi kita kaya raya, tapi untuk memastikan distribusi adil sumber daya NKRI kepada seluruh rakyat, khususnya kaum Nahdliyyin yang masih miskin dan terbelakang dalam banyak hal.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X