*
Selain benar dalam beragama, PMII juga benar dalam bernegara. Ini karena PMII mewarisi tradisi berpikir dan pemikiran NU yang meyakini keterikatannya dengan negara-bangsa Indonesia, yakni NKRI yang berdasarkan Pancasila. Keterikatan itu menjadikan NU dengan seluruh jejaringnya berkomitmen menjaga dan mengawal NKRI berdasarkan Pancasila sebagai harga mati. Sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Setidaknya ada empat penanda penting bagi keterikatan NU, dan lalu PMII, pada tanah air dan negara bangsa Indonesia.
Pertama, keperanan NU memberikan pengakuan wilayah Nusantara sebagai kawasan damai (Darul Islam), bukan kawasan perang. Keputusan penting ini diambil pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, 1936. Dengan keputusan itu, wilayah Hindia Belanda memiliki status teologis yang kelak menjadi tonggak bagi kebangsaan Islam (Islamic nationalism). Umat Islam menjadi wajib membela tanah airnya dari serangan musuh.
Dengan semangat dan gagasan nasionalisme Islam NU itulah umat Islam bergerak di seluruh wilayah Nusantara melawan penjajahan dengan beragam cara. Slogan pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman) adalah kata-kata yang menyandingkan Islam dan nasionalisme dalam satu tarikan nafas. Islam menjadi bagian dari serbuk nasionalisme yang terpatri dalam jiwa dan kesadaran politik bangsa Indonesia dalam berhadapan dengan kolonialisme.
Kedua, keperanan NU dalam memelopori bangunan negara-bangsa yang bernama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada pembentukan konstitusi 1945. Peran kepeloporan itu dimainkan secara cantik dan elegan oleh wakil-wakil NU di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka adalah KH Wahid Hasyim, KH Masykur dan KH Zaenul Arifin.
Ketegangan politik terkait bentuk negara antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam yang hampir memecah kekuatan kebangsaan saat itu berhasil ditengahi dengan penerimaan NU terhadap NKRI. Penerimaan terhadap NKRI berada dalam kerangka persatuan nasional dan upaya merawat kemajemukan bangsa. Ini berarti penolakan terhadap bentuk negara teokrasi yang tidak cocok bagi bangsa yang majemuk.
Ketiga, keperanan NU dalam memberi legitimasi fikih bagi pemerintahan Soekarno. Dengan cara ini, Soekarno adalah ulil amri yang wajib dipatuhi sesuai perintah syar’i. Ini penting di tengah rongrongan terhadap kekuasaan Soekarno oleh sekelompok golongan Islam. Ia dianggap bukan pemimpin Islam yang berwenang memerintah umat Islam. SM Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) pada 7 Agustus 1949. Ia menolak kepemimpinan Soekarno yang menurutnya tidak sah dalam sudut pandang syariat Islam dan mengangkat dirinya sebagai amirul mukminin.
NU mengambil keputusan menutup ruang spekulasi politik yang akan memecah belah persatuan nasional itu dengan memberikan Soekarno gelar sebagai Waliyul Amri al-Dharuri bis-Syaukah ( (Pemimpin darurat dengan kekuasaan de facto). Keputusan yang diambil pada Munas Alim Ulama NU tahun 1954 itu mengokohkan kepemimpinan Presiden Soekarno secara fikih dan menetapkan gerakan Kartosoewirjo sebagai bughat (makar). Bughat dalam Islam hukumnya haram dan wajib ditumpas demi keselamatan bersama.
Keempat, keperanan NU dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara yang diputuskan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo, 1983. Pancasila, yang didalamnya terdapat prinsip tauhid sebagaimana bunyi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, diterima sebagai dasar negara. Sementara Islam tetap dijaga sebagai akidah.
Deklarasi hubungan Pancasila dan Islam menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Dengan sikap ini, debat mengenai Islam tidaknya Pancasila selesai. Pancasila diterima secara luas sebagai dasar dan falsafah NKRI yang wajib dijaga dan diamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. NU memastikan tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila.
Berdiri dan tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila hingga hari ini tidak bisa lepas dan tidak akan bisa dilepaskan dari peran dan kontribusi NU. Tanpa empat penanda penting keterikatan NU dengan NKRI tersebut di atas, sejarah Indonesia pastinya akan lain.
Jadi, benar sudah kita dalam bernegara.
*