JAKARTA, Klikanggaran.com – Revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diharapkan segera ditetapkan oleh DPR. Harapan tersebut disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Guntur Saragih, Juru Bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), mengatakan bahwa proses pembahasan revisi UU tersebut sudah berjalan sekian lama dan hal tersebut patut disyukuri. Karena itu, pihaknya berharap pengesahan revisi tersebut perlu dilakukan sesegera mungkin.
“Andai kata pengesahan itu terjadi, kami sangat mengapresiasi. Ada masalah krusial di KPPU sehingga sangat membutuhkan revisi UU itu mulai dari status pegawai kami yang sangat bergantung di proses amandemen, hingga penguatan-penguatan komisi,” paparnya, Kamis (14/11/2019).
Selama ini, KPPU terus menjalankan komunikasi dengan para wakil rakyat di Komisi VI DPR. Hanya saja sejauh ini pihaknya belum membahas mengenai amandemen UU tersebut. Pekan lalu, kedua belah pihak bersua dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan agenda membahas anggaran KPPU pada 2020.
“Pembahasan sudah sampai tahap harmonisasi dan sinkronisasi. Ada beberapa anggota Komisi VI saat ini yang juga mengikuti pembahasan ini karena menjabat pada periode sebelumnya,” tuturnya.
Setidaknya ada 5 isu krusial terkait amandemen regulasi ini yakni penguatan kelembagaan KPPU sehingga sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menggeser regim merger dari post merger yang membebani pelaku usaha menjadi pre merger notification yang sejalan praktik internasional terbaik.
Terkait dengan persoalan merger ini, berdasarkan penelitian yang disampaikan pada World Economic Forum, siklus hidup sebuah perusahaan hanya mencapai 13 tahun. Setelah itu, pelaku usaha akan melakukan merger atau akuisisi dan konsolidasi. Sebelumnya siklus hidup perusahaan bisa mencapai 100 tahun. Merger semakin dinamis seiring platform ekonomi digital.
Isu lainnya adalah perubahan formula denda persaingan menjadi setinggi-tingginya 30% dari penjualan barang di mana pelaku usaha melakukan pelanggaran dan mengadopsi program leniensi atau whistleblower, atau justice collaborator dengan memberi keringanan hukuman bagi pelaku usaha yang kooperatif selama periode pemeriksaan.
Terakhir, amandemen itu bisa memberikan perluasan kewenangan KPPU sehingga menjangkau pelaku usaha di negara lain tetapi memiliki kegiatan bisnis di Indonesia.
Lantaran revisi UU tersebut tidak terlaksana tahun ini, Anggota KPPU lainnya, Dinni Melanie mengatakan bahwa komisi itu bisa saja membatalkan merger atau akuisisi yang dilakukan pelaku usaha jika aksi korporasi itu justru mengganggu terjadinya persaingan usaha yang sehat.
“Hal ini dikarenakan rezim notifikasi kita adalah post merger. Kalau dalam revisi UU, rezimnya adalah pra merger jadi sebelum melakukan proses mereka meminta izin dari KPPU. Jadi jangan salahkan kami untuk bersikap tegas sesuai UU 5/1999,” ungkapnya.