Kebijakan Pemerintah Soal Pajak Nail Down Batubara Dianggap Sesat

photo author
- Rabu, 26 Desember 2018 | 17:30 WIB
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah

Jakarta, Klikanggaran.com (26-12-2018) – Untuk diketahui, Pemerintah akan segera menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah) tentang Perlakuan Perpajakan dan atau PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) khusus dalam usaha pertambangan batubara. Dalam kebijakan Pemerintah ini, pengusaha batubara akan menikmati perpajakan dengan skema "nail down" atau berlaku dengan nilai tetap selama kontrak berjalan.


Menanggapi hal tersebut, Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI (Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia), mengemukakan pendapatnya. Menurutnya, kebijakan Pemerintah itu dapat merugikan negara


Yusri juga mengatakan, arah kebijakan ini sangatlah jelas, langkah Pemerintah atas kebijakan ini sebatas untuk kepentingan segelintir pengusaha batubara pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara), yang akan berubah status menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Seperti dikatakan oleh Rofianto Kurniawan, Kepala Pusat Kebijakan Pendapat Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, pada media, Rabu (26/12/2018).


Bahkan, PP untuk memperkuat langkah tersebut direncanakan segera keluar dalam beberapa hari ke depan, sebelum tutup tahun 2018. Sehingga PP dapat diimplementasikan sejak awal tahun 2019.


Kebijakan Pemerintah untuk Pengusaha Batubara


Yusri mengatakan, begitu mudah ditebak. Kebijakan Pemerintah atas PP ini, dapat dipandang sebagai "sesat pikir" alias konyol. Langkah Pemerintah dan lobi PKP2B yang seolah yang seolah menilai apa yang diperoleh PT Freeport Indonesia, harus juga diperoleh oleh PKP2B, menurut Yusri adalah hal yang sangat fatal. Mengingat masalah habisnya kontrak PKP2B dan pilihan sikap Pemerintah, berkaitan dengan pertarungan terhadap ketahanan energi nasional ke depan.


“Tentu, selain tujuan pendapatan negara di sektor batubara, dengan sikap
pemerintah menyetujui pola nail down, sama saja pemerintah melanggar UU Minerba. Bahkan pemerintah menjeratkan kakinya sekadar untuk kepentingan segelintir pengusaha pemilik PKP2B. Semestinya pemerintah justru berpihak untuk kepentingan rakyat dalam memperoleh keamanan ketahanan energi nasional ke depan. Apakah masalah PT FI tidak dapat dijadikan pelajaran pemerintah selama nail down diberlakukan?” tutur Yusri pada Klikanggaran.com, Rabu (26/12/2018).


"Bahkan, kita tidak salah mengkritisi lebih jauh. Seberapa jauh pemerintah bersikap dan bertindak untuk memperkuat BUMN, BUMD lewat IUP atau IUPK? Dalam UU Minerba sangat jelas, bahwa BUMN/BUMD mendapatkan prioritas untuk mendapatkan IUP/IUPK. Dan, ini amanah yang harus dilakukan pemerintah. Bukan sebaliknya, pemerintah justru membenturkan dengan perusahaan swasta untuk
mendapatkan akses untuk melakukan operasi pertambangan di sektor batubara," lanjutnya.


Yusri menekankan, kebijakan energi sangat menentukan arah pembangunan nasional ke depan. Mengingat strategisnya energi kebutuhan rakyat, dan sekaligus kepentingan industri, semestinya pemerintah harus tegas untuk tidak memperpanjang PKP2B.


Potensi Keuntungan


Menurut Yusri, justru momen inilah saatnya pengelolaan sumber daya alam, khususnya batubara sebagai energi harus dikelola pemerintah sendiri (BUMN). Dengan total produksi dari 8 PKP2B sebesar 200 juta ton, jelas akan dapat mengamankan kebutuhan batubara ke depan. Di tahun 2026 saja, kebutuhan seluruh PLN baru sebatas 160 juta ton. Selain pemerintah akan mendapat potensi keuntungan sebesar USD 2 miliar. Bukan sebatas pemerintah menikmati royalti dan pajak korporasi saja.


Sisi strategis lainnya menurut Yusri, pemerintah tidak perlu merengek-rengek untuk mendapatkan kepastian pasokan dan harga kepada pengusaha batubara. Dengan mengambil alih PKP2B dan diserahkan ke BUMN, national energy security diperkuat melalui buffer stock energy, bukan sebatas melalui kebijakan DMO Batubara.


Alasan legal lainnya menurut Yusri, ke 8 PKP2B generasi 1 sebagai Perjanjian Production Sharing antara BUMN PT BA (PT Tambang Batubara Bukit Asam) di tahun1993. Lewat Kepres No.75 tahun 1996 dan Kepmentamben No. 680.K/29/M.PE/1997 pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa "Semua hak dan kewajiban PTBA dalam PKP2B dialihkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi".


"Sehingga menjadi sangat wajar, dengan berakhirnya kontrak PKP2B untuk selanjutnya dapat diserahkan kembali ke PTBA atau BUMN yang ditunjuk pemerintah," ujar Yusri.


Dari proses selama ini, lanjut Yusri, tidak salah siapapun menduga bahwa proses perpanjangan PKP2B (termasuk pola perpajakan nail down) lebih didikte oleh ke 8 pengusaha besar PKP2B generasi 1.


“Sebut saja PT Tanito Harum (2019). PT Arutmin (2020). PT Kendilo Coal Indonesia (2021). PT Kaltim Prima Coal (2021). PT Multi Harapan Utama (2022). PT Adaro Indonesia (2022). PT Kideco Jaya Agung (2023) dan terakhir Berau Coal ( 2025),” ujar Yusri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X