Manuver Penguasa Saat Pemerintah Menyelesaikan IUPK PT Freeport Indonesia dan PKP2B

photo author
- Selasa, 18 Desember 2018 | 09:00 WIB
Freeport Indonesia
Freeport Indonesia

Jakarta, Klikanggaran.com (18-12-2018) - Menteri ESDM Ignatius Jonan (IJ) pada Jumat (14/12/2018) sesumbar di hadapan awak media. Bahwa KESDM secepatnya akan menerbitkan IUPK PT Freeport Indonesia (PT FI) dalam minggu ini.

IJ menekankan, seolah yang dilakukan terkait persoalan PT Freeport Indonesia (PT FI) itu sebagai narasi heroik. Atau, sebuah prestasi merebut kedaulatan sumber daya alam setelah dipegang tangan asing selama 50 tahun.

Demikian komentar Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Komentar tersebut dilontarkan terkait sikap ESDM dalam permasalahan PT Freeport Indonesia (PT FI).

Ironis menurut Yusri, karena IJ sama sekali tidak menyinggung masalah yang justru nilainya jauh lebih besar dan merugikan negara. Dan, masalah inilah yang justru harus diketahui publik (rakyat), yang notabene sebagai pemilik sumber daya alam.

Freeport Indonesia dan Sikap Menteri ESDM


Sebagai Menteri, semestinya IJ tahu akan tugas itu. Tercatat, PT Freeport Indonesia sampai saat ini justru menutup diri atas potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan, yang nilainya dapat mencapai Rp 185 triliun.

Belum lagi penggunaan Kawasan Hutan Lindung seluas 4.500 Ha tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). AMDAL juga seolah dikesampingkan PT FI. Status Dokumen AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), oleh Komisi Pusat AMDAL atas blok tambang bawah tanah belum diterbitkan.

“Ini justru sebagai syarat utama bagi ESDM untuk menerbitkan IUPK Operasi Produksi (UU No.4/2009),” tegas Yusri, Senin (17/12/2018).

Terkesan ada pembiaran PT FI mengesampingkan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Bahkan IJ pun tidak menyinggungnya. Ini menurut Yusri, sama saja memaksa negara melalui APBN (uang rakyat), digunakan untuk mengatasinya.

IJ (Menteri ESDM) dan Siti Nurbaya (Menteri LHK), kedua Menteri inilah yang menurut Yusri seharusnya duduk satu meja. Sekaligus menjelaskan dengan detail ke hadapan publik atas proses tahapan dan solusi hasil temuan BPK-RI.

Termasuk juga, sikap PT FI terkait penggunaan Kawasan HutanLindung seluas 4.500 ha (tanpa IPPKH), sebelum IUPK OP dikeluarkan. Tanpa menjelaskan proses penerbitan IUPK OP, menurut Yusri sama saja menanam persoalan hukum yang bisa jadi muncul di kemudian hari.

Pelanggaran Hukum


“Selama ini, PT FI telah beroperasi menambang sejak 1967. Yang terjadi justru PT FI telah melakukan pelanggaran hukum berat terhadap UU No.41/1999 tentang Kehutanan,” ujar Yusri.

“Termasuk juga UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan dan UU No./2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” lanjutnya.

Dapat dibandingkan dengan mudah, di Wilayah DKI Jakarta, menebang satu pohon tanpa izin bisa terkena jerat pidana kurungan atau denda Rp 25 juta (Perda No. 8 /2007). Menjadi sangat jelas, PT FI adalah salah satu dari sebagian pemilik Kontrak Karya (KK) yang telah membangkang terhadap UU Minerba.

UU minerba telah mengatur dengan jelas tentang ketentuan peralihan terhadap semua KK dan PKP2B yang telah berakhir. Ketentuan peralihan (pasal 169 sampai pasal 172), diberlakukan lebih untuk menghormati pelaku usaha.

Mengingat di saat UU Minerba diberlakukan, banyak perusahaan yang sedang beroperasi dan belum berakhir kontraknya. Bahkan, khusus pada pasal 169 ayat b telah ditegaskan bahwa semua KK dan PKP2B diberikan waktu 1 tahun sejak UU Minerba diberlakukan.

Agar menyesuaikan dengan isi UU Minerba kecuali soal penerimaan negara. Sehingga setelah berakhirnya kontrak, secara hukum semua pengelolaan pertambangan harus mengikuti aturan yang diamahkan oleh UU Minerba.

“Namun, faktanya ESDM terlambat. Pada 2014 baru satu KK yang berhasil diamandemen. Selebihnya baru dapat ditandatangani amandemennya pada 2015 dan 2016,” sesal Yusri.

“Ini dapat diartikan, baik pemilik KK dan PKP2B, serta semua pejabat Dirjen Minerba saat itu, turut bersama-sama melanggar UU Minerba. Sehingga dapat disebut, semua amandemen KK dan PKP2B adalah produk ilegal,” tuturnya.

Pernyataan sebagai produk illegal itu, diiyakan oleh Mantan Dirjen Minerba, Dr Simon Sembiring, di tengah acara diskusi soal Draft RPP 23/2010 di Pulau Dua (12/12/2018). Diskusi ini diprakarsai oleh IRESS.

Marwan Batubara sebagai Direktur IRESS pun mempertegas bahwa persoalan PKP2B/KK dimulai sejak lahirnya PP No. 23/2010 yang tidak memasukan ketentuan implementasi pasal 169 b. Sehingga dapat dikatakan, dengan PP yang sudah cacat sejak lahir, perubahan kesatu sampai keenam PP No.23/2010 menjadi catat hukum.

Ahli hukum dari Universitas Tarumanegara, Dr. Ahmad Redi, SH, justru menyampaikan bahwa sejak PP No.1/2017 digunakan sebagai payung hukum untuk merubah KK menjadi IUPK, telah merusak tatanan hukum perpanjangan KK dan PKP2B. Ini akan meyebabkan kacau balau, mengingat telah menabrak rambu yang telah ada dalam UU Minerba.

Dan, wajar jika guru besar UI, Prof Hikmahanto Juwana, dalam salah satu acara yang dikutip media CNN (11/06/2015), menilai bahwa IUPK PT FI sebagai bentuk penyeludupan hukum.

“Masalah ini pun telah disampaikan ke Presiden Jokowi. Agar Presiden lebih berhati-hati dalam menetapkan perubahan PP, karena dapat berpotensi adanya tindak pidana korupsi,” tutur Yusri.

“Juga menjadi sangat janggal. Dalam menjalankan kebijakannya selama ini, beberapa pejabat KESDM justru bekerja dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM. Daripada melaksanakan amanah UU Minerba. Sebaliknya, justru banyak isi pasal di dalam PP dan Permen ESDM, bertentangan dengan apa yang diamanahkan dalam UU Minerba,” lanjutnya.

Masalah Lain Terkait IUPK


Masalah lain terkait perbedaan luasan IUPK Operasi Produksi untuk mineral logam. Dalam UU Minerba sudah dibatasi seluas 25.000 ha (pasal 83 ayat b), dan IUPK Operasi Produksi untuk batubara dibatasi seluas 15.000 ha (pasal 83 ayat d).

Menurut Yusri, sisa luasan dari wilayah yang dimiliki KK/PKP2B seharusnya dimasukkan sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Melalui proses politik di DPR, wilayah tersebut dapat dijadikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

“Selanjutnya oleh negara diberikan secara prioritas utama kepada BUMN untuk mengelolanya (pasal 75),” ujar Yusri.

“Namun, jika BUMN menolaknya, terbuka untuk ditawarkan kepada swasta dengan mekanisme lelang terbuka,” lanjutnya.

Hal yang sama untuk pemilik KK dalam melakukan proses pemurnian mineralnya melalui smelter di dalam negeri. Menurut Yusri semestinya dilakukan paling lambat pada Febuari 2014 (pasal 170).

Ironisnya, hampir 9 tahun sejak UU Minerba diberlakukan, ground breaking untuk pembangunan smelter pun tidak jelas. Melalui terbitnya PP No.1/ 2017 dan Permen ESDM No. 5, 6, dan 28, justru menyebabkan ruang ekspor menjadi terbuka.

Dan, terjadi ekspor besar-besaran mineral mentah. Seperti bijih besi, Nikel kadar Ni < 1,7 dan Bauksit yang sudah dicuci. Jelas, kebijakan ESDM menurut Yusri yang justru melanggar UU Minerba pasal 102 dan 103.

“Kalau kita mau membuka lembar demi lembar proses yang ada, semua bisa terjadi akibat ketidakkonsistenan Pemerintah dalam mengimplementasikan UU Minerba secara tegas,” kata Yusri.

“DPR Komisi VII telah melakukan pembiaran. Padahal arahnya sangat jelas, semangat UU Minerba ditujukan untuk mengoptimalkan nilai tambah ekonomi lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.

“Ironisnya, justru dibelokkan dengan mengamodir kepentingan pengusaha yang selama ini telah menikmati tambangnya puluhan tahun dan nilai keuntungannya sangat besar,” sesal Yusri lagi.

Pemerintah Sedang Didikte


Yusri juga menyampaikan, disinyalir, dengan modal dan jaringan politik yang dibangun, mampu mendikte Pemerintah. Tidak lain untuk mengikuti keinginannya agar tambang yang dimiliki tetap dikuasainya.

“Tanpa memandang bahwa apa yang dilakukannya telah melanggar UU Minerba,” sindir Yusri.

Maka menurutnya menjadi sangat wajar jika publik menilai, muncul operasi senyap untuk memasukkan rumusan-rumusan dalam PP sebagai payung hukumnya. Yang pada dasarnya dibuat lebih sekadar untuk kepentingannya sendiri.

Dari sisi kepentingan ketahanan energi nasional dan bahkan potensi kerugian negara yang akan terjadi terlihat jelas. Pengambilalihan PT FI oleh PT Inalum melalui penguasaan saham sebesar 51%, bukanlah prestasi besar dan membanggakan.

“Apalagi harus melalui skema mengganti nilai saham. Serta memaksakan lewat syndicate overseas loan sebesar USD 4 milyar,” kata Yusri.
Prestasi Pemerintah untuk Freeport Indonesia

Dengan memiliki delapan PKP2B (tanpa sepeser pun dana yang diperlukan), menurutnya pemerintah dapat mengendalikan produksi batubara sebesar 200 juta ton per tahunnya. Dengan menyerahkannya kepada BUMN, maka inilah prestasi luar biasa Pemerintahan Jokowi.

Bukan saja keberhasilan Jokowi dalam membangun pengelolaan ketahanan energi nasional, namun mampu mengangkat potensi tambahan pemasukan bagi negara sekitar USD 2 miliar setiap tahunnya di luar PNBP yang selama ini diperoleh.

Dengan asumsi, profit sebesar USD 10 per ton, produksi setiap tahunnya 200 juta ton. Berarti USD 2 miliar akan masuk ke kantong negara setiap tahun. Ini jauh lebih besar dari pendapatan PT Inalum atas kepemilikan PT FI setiap tahunnya.

Melalui pikiran jernih dan mekanisme perhitungan apa pun, ditambah pengalaman pahit atas PT FI selama ini. Maka jelas, dengan berakhirnya beberapa kontrak PKP2B, harus diletakkan sebagai kunci nasional untuk memperbesar BUMN.

“Inilah yang justru ditunggu oleh rakyat yang notabene sebagai pemilik sumber daya alam,” tegas Yusri.

“Bukan justru diperpanjang kepada pengusaha yang pada dasarnya sebatas sebagai kontraktor dan telah menikmati masa indahnya selama bertahun-tahun,” lanjutnya.

Yusri mempunyai pemikiran, dengan dikembalikan ke negara (selanjutnya dioperasikan oleh BUMN), pendapatan negara justru meningkat. Jasa kontraktor tetap jalan, karyawan justru bangga menjadi karyawan BUMN.

Terpenting, ketahanan energi bukan sekadar diakomodir melalui kebijakan DMO, namun dipertegas dengan kepemilikan batubara oleh negara (buffer stock energy).

Akhirnya sangat jelas, upaya berbagai pengusaha untuk melakukan perubahan ke 6 RPP Nomor 23 Tahun 2010 harus ditolak Presiden.

“Atau, sebaliknya pemerintah merengek-rengek di saat harga batubara membumbung tinggi? Pilihan mana yang akan diambil Presiden, mencerminkan arah ke mana Presiden berpihak,” tutup Yusri.

bACA JUGA : Beratnya Usaha Pemerintah untuk Divestasi PT Freeport Indonesia

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X