Jakarta, Klikanggaran.com (26-03-2018) - Seperti telah diketahui, kenaikan harga BBM Non Subsidi mulai berlaku tanggal 25 Maret 2018. Ada dua faktor yang mengharuskan PT Pertamina melakukan perubahan harga BBM. Pertama, saat ini harga minyak mentah sudah hampir menyentuh angka US$ 65 per barel. Kedua, nilai rupiah juga menunjukkan kecenderungan melemah.
Kedua kondisi tersebut memaksa Pertamina mengambil keputusan yang tidak populer bagi publik. Pertamina menaikkan harga Pertalite yang sebetulnya termasuk BBM Non Subsidi.
Selain itu, Pertamina (Persero) juga mengungkapkan, harga jual bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar subsidi yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan harga minyak dunia yang seharusnya lebih mahal. Ini lantaran harga dua jenis BBM tersebut dalam komitmen pemerintah untuk tetap disubsidi.
Dalam salah satu pernyataannya, Direktur Pemasaran Pertamina, M Iskandar, mengatakan bahwa, jika mengacu formula pembentukan harga Premium 103,92 persen Harga Indeks Pasar (HIP) RON 88 ditambah Rp 830 per liter, ditambah 2 persen harga dasar, seharusnya harga Premium Rp8.600 per liter. Akan tetapi, pemerintah memutuskan harga Premium tetap Rp6.450 per liter untuk wilayah penugasan di luar Jawa, Madura, dan Bali. Dengan begitu, Pertamina menanggung selisih harga jual sebesar Rp2.150 per liter.
Sementara untuk pembentukan harga solar mengacu pada formula 102,38 persen HIP minyak solar ditambah 900 per liter dikurangi subsidi Rp 500 per liter. Dengan begitu, harga solar sesungguhnya Rp8.350 per liter. Namun, pemerintah memutuskan harga solar subsidi tetap Rp5.150 per liter, antara harga jual dan harga beli BBM Rp3.200 per liter.
Dari sini dapat kita lihat, bahwa dengan selisih tersebut, selama Januari-Februari 2018, Pertamina menanggung kerugian sebesar Rp 3,9 triliun. Maka, kenaikan harga BBM tidak selalu dapat dipandang sebagai hal yang negatif, tetapi juga dapat dipandang sebagai hal positif. Bisa dibayangkan, Pertamina akan terus merugi jika menjual murah Pertalite. Dan, jika Pertamina bangkrut, tentu masyarakat juga yang akan dirugikan.
Publik tentu berharap bahwa Pertamina tidak bangkrut, dan publik harus memahami bahwa keputusan yang harus dilakukan Pertamina adalah keputusan yang sulit. Namun, Pertamina juga harus mengikuti dinamika pasar dunia. Sebab sudah tergantung dengan harga minyak dunia dan formula yang ditetapkan. Publik tentu paham, bahwa jika biaya bahan bakunya naik, maka akan naik juga harga jualnya.
Sebagai catatan, Premium dan Solar subsidi yang ditetapkan sejak April 2016 hingga kini mengacu pada harga minyak dunia pada kisaran US$ 44 per barel, sementara saat ini harga minyak dunia sudah berada di level US$ 65 per barel.