Jakarta, KlikAnggaran.com - Perdebatan mengenai Peraturan Pengganti Undang-Undang Perlindungan Anak (Perppu Nomor 1 Tahun 2016), atau yang saat ini dikenal oleh banyak kalangan sebagai Perppu Kebiri, masih terus berlanjut. Perppu itu lahir dari memprihatinkannya kondisi keamanan dalam negeri mengenai merebaknya kasus kejahatan seksual. Sebagai salah satu hukuman terberatnya adalah hukuman kebiri secara kimiawi.
Komisi VIII DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat mengenai pembahasan Perppu Perlindungan Anak dengan Kementerian PMK, KPAI, dan PB IDI (25-07-2016) di Gedung DPR. Salah satu pembahasan yang urgent adalah mengenai siapakah eksekutor pada pemberian hukuman kebiri.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara tegas menolak untuk menjadi eksekutor pada pemberian hukuman kebiri secara kimiawi. Hal itu disampaikan oleh Daeng Muhammad Faqih pada RDP Komisi VIII (25-07-2016).
“Jika kami (dokter) menjadi eksekutor hukuman kebiri, maka hal itu sudah melanggar kode etik dokter. Selain itu akan banyak efek domino yang akan menguatkan dokter untuk melanggar kode etik, seperti pemberlakuan aborsi,” ujar Daeng.
Daeng juga menambahkan bahwa, siapa saja bisa menjadi eksekutor hukuman kebiri. “Kebiri dapat dilakukan oleh siapa saja asalkan dilatih, karena pemberian hukuman kebiri hanya melalui alat suntik, sehingga jika orang lain dilatih dalam hal penyuntikan, maka mereka bisa melakukan kebiri. Dalam hal ini, bisa saja aparat penegak hukum dilatih untuk melakukan hukuman kebiri,” ujarnya.
Penilaian berbeda dilontarkan oleh beberapa Wakil Ketua Komisi VIII, A. Malik Haramain. “Jika Perppu disahkan, maka saya kira akan lebih tinggi dari kode etik. Masalah kemudian itu ada efek domino, saya kira beda,” ujar Politis PKB tersebut.
Malik juga menambahkan, persoalan eksekutor harusnya tidak menjadi masalah karena hukuman kebiri hanya salah satu sanksi tambahan untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak.