Jakarta, KlikAnggaran.- Chairuddin Syah Nasution (2016) melakukan studi terhadap kebijakan keuangan inklusif Pemerintah negara-negara G20 . Tujuan studi tersebut adalah untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan seperti apa yang telah ditempuh berbagai negara dalam upaya memperluas akses keuangan terutama bagi masyarakat miskin yang terpinggirkan (disadvantage society), dan selanjutnya melihat berbagai perbedaan kebijakan yang ditempuh negara-negara yang sudah lebih maju tingkat kesejahteraan sosial ekonominya (welfare state) dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang (developing countries), serta mengevaluasi kesamaan kebijakan keuangan inklusif di antara negara yang sedang berkembang.
Hasil studi itu menunjukkan, berbagai langkah kebijakan negara-negara anggota G20 dalam penanggulangan kemiskinan, sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan keuangan, sosial, budaya, teknologi, geografi serta kondisi politik di masing-masing negara anggota. Dengan melihat beberapa indikator keuangan inklusif antara negara- negara maju dan berkembang, diketahui bahwa kepemilikan rekening di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara OECD saat ini rata-rata berada di atas 50 persen terhadap jumlah penduduknya dan berbanding terbalik dengan negara- negara berkembang seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia Timur yang berkisar rata-rata 30 persen. Lebih jauh, besarnya persentase kepemilkan rekening di negara-negara maju berbanding lurus dengan tingkat pendapatan per kapita yang rata-rata di atas US$20.000. Semakin tinggi GDP per kapita, semakin tinggi pula persentase kepemilikan rekening di lembaga keuangan formal. Sebaliknya, semakin rendah GDP per kapita di negara-negara berkembang maka persentase kepemilikan rekening semakin rendah (Investor Daily,2012)
Apabila dilihat dari perbandingan akses keuangan, di negara maju hanya 8 persen dari jumlah penduduknya yang belum memiliki akses keuangan, sedangkan di negara- negara berkembang mencapai 59 persen. Di sisi lain, dari sisi penyaluran kredit, di negara-negara berkembang baru dalam kisaran 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di Malaysia sudah mencapai 100 persen. Sementara itu, di Indonesia baru 20 persen penduduk Indonesia berusia diatas 15 tahun yang memiliki akses ke sektor keuangan. Lebih jauh, hanya 2 juta orang atau kurang dari 1 persen dari 230 juta penduduk Indonesia yang bisa mengakses pasar modal. (Damayanti, dalam Faisal Rahman, 2013)
Berdasarkan hasil studi tersebut, disarankan bahwa diperlukan pembelajaran (lesson learned) dari negara-negara berkembang lainnya dan negara- negara maju agar diperoleh gambaran serta arah kebijakan masing-masing negara di dalam pengembangan kebijakan keuangan inklusif sehingga dapat dijadikan acuan secara selektif dan prioritas untuk menyusun kebijakan keuangan inklusif yang lebih komprehensif di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang secara berkelanjutan.