Jakarta, Klikanggaran.com - Carut marutnya tata kelola minyak dan gas (Migas) dalam negeri membuat wacana diperlukannya perubahan aturan atau Revisi Undang-Undang Migas didengungkan.
Hal ini terungkap dalam beberapa kali diskusi yang diselenggarakan oleh beberapa elemen kemahasiswaan. Kepala Bagian Humas SKK Migas, Dr. Ir. Taslim Z. Yunus. M.M., mengatakan bahwa hingga saat ini Indonesia masih berada pada posisi tidak mempunyai ketahanan energi.
"Saat ini kita berada pada posisi belum aman dalam hal ketahanan energi dan kemandirian energi," kata Taslim dalam paparannya pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Nasional (BAKOORNAS), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), dan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) di Hotel Alia Cikini.
Taslim berharap hasil dari revisi UU Migas tersebut dapat melahirkan sebuah perusahaan negara yang akan membidangi permasalahan minyak dan gas di Indonesia.
"Menjadikan kegiatan hulu migas berada dalam satu atap oleh perusahaan negara. Dan, kalau boleh usul, saya minta agar perusahaan tersebut langsung berada di bawah presiden, kenapa? Agar lebih mudah prosesnya," harap Taslim.
Di tempat terpisah, Direktur Central for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menyatakan bahwa ke depan Migas harus dikelola dengan lebih baik lagi, dan itu hanya bisa terwujud jika dikelola oleh perusahaan negara, bukan sebuah badan seperti yang saat ini ada.
"Pengelola migas, harus sebuah perusahaan negara, bukan badan negara seperti SKK Migas, karena tidak strategis, dan merugikan penerimaan negara," ungkap Uchok ketika dihubungi via pesan singkat di Jakarta, Jumat (14/10/2016).
Uchok menjelaskan, perusahaan negara lebih pas ketimbang hal tersebut berada di bawah badan negara yang bernama SKK Migas.
"Lihat saja, SKK Migas yang mengelola migas, yang terjadi, naik turun harga minyak, kontrak-kontrak tidak bisa diubah, dan menguntungkan pihak perusahaan swasta. Kalau perusahaan yang mengelola migas, jadi sistem bisnis to bisnis, dan kontrak bisa berubah kalau harga migas naik atau turun," jelasnya.
Perusahaan negara diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi akibat dampak dari sebuah kebijakan yang akan merugikan negara.
"Dan, tidak strategis kalau saat ini ada perusahaan, ada masalah kontrak dengan SKK Migas. Maka perusahaan bisa langsung menuntut pemerintah ke ranah hukum internasional. Dan, hal ini yang merugikan pemerintah Indoensia," pungkasnya.