Kilang Shell Dipilih, Upgrading Kilang Pertamina Omong Kosong

photo author
- Jumat, 2 September 2016 | 10:38 WIB
images_berita_Ags16_1-KILANG
images_berita_Ags16_1-KILANG

Jakarta, Klikanggaran.com - Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman sangat mengapresiasi langkah PT. Pertamina (Persero) pada 31 Agustus 2016 yang telah menandatangani kontrak kerjasama dengan perusahaan Shell International Eastern Trading Company (SIETCO).

Kedua perusahaan sepakat mengolah minyak mentah bagian Pertamina dari aktifitas hulunya sebagai pemegang saham Participating Interest sebesar 10% di blok migas West Qurna 1 Irak, dengan skema "Crude Processing Deal" (CPD). Artinya, dari minyak mentah dengan kandungan sulfurnya relatif tinggi sejumlah 1 juta barel per bulan  tersebut akan dihasilkan produk mogas, LPG, Solar, dan MFO, serta residu sesuai perencanaan kilang sebagai upaya meningkatkan nilai tambah pada rantai pasokan BBM dalam negeri untuk periode 1 Juni 2016 sampai Desember 2016.

 

Kegiatan pengolahaan di kilang tersebut oleh Pertamina dikatakan lebih hemat 15%, bahkan secara terselubung Pertamina dengan jujur menyatakan bahwa semua kilangnya "memble" alias tidak efisien sekitar 15% untuk biaya pokok produksi kilang (BPP kilang).

Sebelumnya Yusri sempat juga mempertanyakan mengapa minyak mentah West Qurna 1 selalu dijual, bukan diolah dengan konsep "CPD". Komentar Yusri saat itu dikaitkan dengan kebijakan Pertamina pada 26 Agustus 2016 yang merilis keterangan bahwa Pertamina International EP telah mengakuisisi saham Pasifico 24,5% senilai 201,2 juta Euro, setara Rp 29,9 triliun di dalam Holding Company Maurel & Prom yang katanya mempunyai aset produksi hanya sekitar di bawah 29.000 BOEPD terdiri dari minyak dan gas terletak di 3 negara yaitu Gabon, Tanzania, dan Nigeria.

Lebih lanjut Direktur Keuangan Pertamina, Arif Budiman pada tanggal 26 Aguatus 2016 menyatakan bahwa Pertamina dalam 2 bulan ke depan akan mempersiapkan berapa pun dananya untuk menambah sahamnya supaya mayoritas di dalam Maurel & Prom untuk bisa mengendalikan holding tersebut terhadap aset-aset yang terpencar di beberapa Negara.

Mengingat pada penutupan saham 24,5% milik Fasifico telah digelontorkan sejumlah uang Rp 29,9 triliun, maka sudah tentu untuk membeli saham sekitar 27% agar bisa mayoritas, Pertamina harus bisa menyiapkan dana sekitar 220 juta Euro dalam beberapa bulan ke depan sebelum akhir tahun.

Sehubungan dengan minyak asal West Qurna 1  Irak itu bisa dikatakan lebih efisien sekitar 15% diolah di kilang Shell Singapore, maka timbul pertanyaan dari Yusri, mengapa Pertamina mengabaikan potensi blok migas West Qurna 2 Irak yang cadangannya terbukti ada 13 miliar barel, produksinya sekarang sekitar 450.000 BOEPD, dan diperkirakan pada 2019 bisa mencapai 1.2 juta BOEPD. Adapun biaya akuisisi saham Lukoil di DPSC West Qurna 2 hanya sekitar USD 1 miliar di saat harga rata-rata minyak USD 45 perbarel.

“Tetapi, peluang itu telah pupus diraih Pertamina, karena perusahaan Lukoil tidak melihat keseriusan Pertamina dan sejak pertengahan bulan Agustus 2016 opsi tersebut sudah diambil oleh perusahaan Mitsubishi Jepang dan NCPC China,” ujar Yusri dalam siaran persnya, Kamis (1/9/2016).

Satu hal yang tidak kalah penting bagi Pertamina yaitu, harus menjelaskan mengapa dalam bekerjasama dengan kilang luar negeri menggunakan konsep "CPD", akan tetapi dengan kilang Pertamina yang juga mempunyai saham dengan konsep "Tolling Fee", seperti contohnya dengan kilang TPPI Tuban.

Perbedaan konsep pengelolaan ini dinilai banyak pihak tidak adil, karena dengan sistem "Tolling Fee", Pertamina hanya membayar biaya olah untuk produk utama saja, seperti produk Mogas Ron 88 dan Mogas Ron 92. Sedangkan untuk produk lainnya seperti Solar dan LPG tidak dibayar oleh Pertamina. Bahkan dengan konsep ini saja, Pertamina selalu mengaku rugi, padahal saat ini kilang TPPI boleh dikatakan paling efisien dibandingkan kilang Pertamina lainnya yang belum di-upgrading.

Padahal, konsep "Tolling Fee" berbeda dengan konsep "CPD". Kalau "CPD" dibayarkan berdasarkan biaya mengolah minyak mentah menjadi produk BBM sesuai permintaan Pertamina, maka basisnya adalah jumlah minyak mentah yang diolah.

Sedangkan jika diolah dengan konsep "Tolling Fee", maka yang dibayar oleh Pertamina hanyalah sesuai target produk BBM yang dihasilkan. Contohnya  per bulan bisa menghasilkan produk  Premium Ron 88 sebesar 1,6 juta barel per bulan, dan produk lainnya seperti solar dan LPG tidak dibayar, jadi bukan basisnya jumlah kondensat yang diolah.

Kalau selalu dibilang rugi, tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa dengan konsep "CPD" bisa efisien hingga 15%, dan apa alasan Pertamina lebih memilih membeli saham perusahaan Prancis M&P daripada membeli saham blok West Qurna 2 yang lebih baik produksi dengan cadangannya yang cukup besar dan harganya jauh lebih murah sesuai tujuan ekspansi Pertamina di luar negeri untuk  menjaga ketahanan energi nasional. Inilah yang harus detail dijelaskan Pertamina kepada publik,” tutup Yusri.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X