kebijakan

KPAI Temukan Lima Alasan Anak Putus Sekolah Selama Pandemi Covid-19

Sabtu, 6 Maret 2021 | 15:22 WIB
Kpai


Jakarta,Klikanggaran.com - Hasil pengawasan Retno Listyarti, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak Januari tahun 2021 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah selama masa pandemi_covid 19.


Dia mengatakan, ada lima alasan yang menyebabkan anak putus sekolah, yaitu karena menikah, bekerja, menunggak Iuran SPP, kecanduan game online, dan meninggal dunia.


"Adapun wilayah pantauan adalah  Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Provinsi DKI Jakarta.  Pemantauan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan  guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI). Pemantauan dilakukan pada Februari 2021," ujar Retno, Sabtu (6-3).


Dijelaskannya, pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama setahun, seharusnya pemerintah daerah sudah dapat memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya, sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah.


“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ungkap Retno.


Adapun berdasarkan hasil pantauan KPAI selama  Januari-Februari 2021 saja sudah menunjukkan angka putus sekolah yang memprihatinkan. Uraian datanya  sebagai berikut :


Pertama, Siswa putus sekolah karena menikah 


Jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai   33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian  kelulusan sekolah.  Karena masih PJJ, maka mayoritas  yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan “home visit” karena tidak pernah lagi ikut PJJ. 


Angka 33 di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang  wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu,  Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.


“Di Buton, baru saja berlangsung  (6-2-2021) perkawinan antara anak usia 14 tahun dengan anak usia 16 tahun, ini tentu menambah jumlah anak yang putus sekolah karena menikah,” ujar Retno.


Kedua,  siswa putus sekolah karena bekerja


Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemic sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Ada 1 siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan  demi membantu ekonomi keluarganya. Ada 1  siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya orderan cetakan. 


Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan


Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 s.d. Februari 2021 ada 34 kasus. Dari 34 kasus tersebut,  3 diantaranya berasal dari sekolah yang sama.  Hampir 90% kasus berasal dari sekolah swasta dan 75% kasus berada dari jenjang SMA/SMK.  Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan.  Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemi menjadi penyebab utama.

Halaman:

Tags

Terkini