kebijakan

Saran FSGI Untuk Mendikbud Baru, Dari Persoalan Guru Sampai Link And Match Vokasi

Rabu, 30 Oktober 2019 | 20:46 WIB
images (2)


Jakarta,Klikanggaran.com - Dilantiknya Nadiem Makarim sebagai Mendikbud baru menimbulkan harapan sekaligus kecemasan bagi publik, khususnya pegiat pendidikan. Publik berharap Nadiem akan membawa angin perubahan terhadap potret pendidikan nasional yang masih belum baik. Dengan setumpuk protofolio kesuksesannya mengelola bisnis aplikasi, membawa harapan Mas Nadiem akan mampu menyiapkan teknologi bagi dunia pendidikan untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0. Di sisi lain, kita cemas sebab pengalaman Mas Nadiem yang belum pernah mengurus persoalan pendidikan: Guru, Sekolah, Kurikulum, sampai pada Perguruan Tinggi. Termasuk minimnya pengalaman di dunia birokrasi.


Oleh karena itu ada 4 catatan fokus FSGI, sebagai organisasi profesi guru, untuk menjadi bahan masukan bagi Mas Nadiem, perihal persoalan pokok pendidikan dasar dan menengah. Harapannya ini menjadi masukan yang berarti dalam mengawali kerjanya ke depan. Setumpuk persoalan guru. Data BAN S/M menunjukkan dari 8 standar nasional pendidikan, nilai komponen PTK adalah standar yang menempati posisi terendah, 72,96 selain standar sarana prasarana 72,76 (2018). Dari tumpukan persoalan guru tersebut,Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan diagnosis persoalan guru.


Pertama adalah kompetensi guru. Kompetensi guru skala nasional masih menyimpan segudang masalah. Sebagai bukti mari tengok angka-angka capaian Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional, berturut-turut dari tahun 2015-2017 (skala 0-100) sebagai berikut: 43,74; 65,82; 68,23 (Guru TK); 40,14; 63,80; 62,22 (Guru SD); 44,16; 65,33; 67,76 (Guru SMP); dan 45,38; 66,66; 69,55 (Guru SMA), (Kemdikbud, 2018). Rata-rata capaian nilai UKG nasional pada 2017 sebesar 66,94.  Angka yang jauh dari harapan. Mengapa kompetensi guru masih rendah? Salah satu penyebabnya adalah minimnya pelatihan guru oleh pemerintah (daerah). Di Jakarta sekalipun. Adapun pelatihan, tapi dengan metode "itu-itu saja", cara yang sama dilakukan, tapi berharap hasilnya berbeda. Tentu absurd. Sementara itu masih banyak daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 20% sebagaimana kewajiban menurut UUD 1945. Bahkan banyak daerah yang anggaran pendidikannya 10% APBD ( HYPERLINK "http://www.npd.go.id" www.npd.go.id) atau di bawahnya. Tentu miris melihatnya. Demikian disampaikan Satriwan Salim (Wasekjen FSGI). Secanggih apapun perangkat aplikasi dan kurikulum yang Mas Nadiem disain nanti, jika guru belum dibenahi kompetensinya maka akan sia-sia belaka.


Kedua, persoalan perlindungan guru dalam menjalankan profesi. Lima tahun terakhir kekerasan yang dialami guru makin beragam dan relatif meningkat, yaitu perundungan oleh siswa di kelas (sering viral karena direkam dan diunggah), orang tua, dan kepala sekolah. Tidak hanya berbentuk kekerasan verbal, fisik, dan psikis, guru bahkan dibunuh oleh siswanya. Seperti dialami guru honorer Budi, dianiaya sampai tewas oleh siswanya di Sampang (2018), dan yang baru terjadi pembunuhan guru Alexander oleh siswanya di SMK Manado (2019) karena menegur pelaku yang merokok. Selain guru, siswa menjadi korban kekerasan terbanyak di sekolah. Tingginya tingkat kekerasan di dunia pendidikan adalah tugas berat Mendikbud membereskannya. Jika standar berpikirnya dengan memproduksi aturan sebagai cara penyelesaian, maka telah terjawab.
Meskipun sudah ada Permendikbud No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Permendikbud No 10 tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Mengapa kekerasan di sekolah masih terjadi, padahal sudah ada regulasi mencegahnya? Jawabannya adalah regulasi dibuat sebagai pelengkap administrasi dan menjadi macan kertas belaka.
Para guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, pengawas sekolah sampai birokrat pendidikan di daerah sangat jarang diberi pelatihan bagaimana pengimplementasian kedua aturan penting tersebut. Ditambah pedoman teknisnya yang belum tersosialisasikan dan dipahami sekolah. Percuma teknologi pembelajaran super canggih jika guru dan siswa terus menjadi korban kekerasan, baik langsung maupun berbentuk cyber bullying. Sekolah tidak lagi menjadi lingkungan aman dan nyaman. Alhasil pendidikan dan sekolah bukan arena untuk memanusiakan manusia seperti kata Paulo Freire.


Ketiga, minimnya kesejahteraan guru honorer. Dari 3,1 juta guru secara nasional, hampir separuhnya berstatus honorer. Apakah kesejahteraan sudah diperoleh guru honorer? Jauh panggang dari api. Masih banyak guru bergaji di bawah 500 ribu/bulan dengan tumpukan tugas mengajar dan beban administrasi yang sama dengan guru tetap (ASN). Bahkan kami dari FSGI pernah bertemu di Komisi X DPR RI dengan guru honorer SD dari NTB, yang honornya 50 ribu/bulan (2018). Persoalan lulusan SMK. Satriwan menambahkan bahwa SMK adalah pemasok angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Jumlah SMK swasta di Indonesia sekitar 10.500 sekolah, sedangkan SMK negeri sekitar 3.500 sekolah. Tetapi lulusan SMK negeri lebih banyak dibandingkan lulusan SMK swasta. Mengapa SMK menyumbang pengangguran terbesar? Jawabannya: SMK kekurangan guru mata pelajaran produktif; Kurikulum SMK tidak relevan (tidak link and match) dengan kebutuhan dunia industri; Pendirian SMK swasta bermunculan bak cendawan musik hujan dengan minim pengawasan; dan minimnya ketersediaan calon guru matpel produktif di LPTK.
Kami mendukung Mas Nadiem membenahi kurikulum SMK agar link and match dengan kebutuhan dunia industri. Dengan mempertimbangkan karakteristik SMK dan koteks daerah tempat SMK berdiri.


Persoalan implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang membingungkan guru. strategi pemerintah dalam menyemai nilai-nilai karakter di sekolah melalui Perpres No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dirasa masih mengawang-awang, belum diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan karakter direduksi menjadi sekedar seremonial saat pejabat daerah atau pusat berkunjung. Ramai kemudian dipasang spanduk bertulis “Sekolah Ramah Anak”, “Sekolah Anti-Bullying”, “Stop Kekerasan di Sekolah!”, dan ragam slogan-slogan yang seolah menunjukkan sekolah sudah menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter selama proses pembelajaran.


Perpres tersebut lagi-lagi tidak dibantu dengan seperangkat pedoman pelaksanaan yang efektif dan berkelanjutan. Alhasil para guru dan kepala sekolahpun gamang jika ditanya bagaimana PPK diimplementasikan di sekolahnya. Kalau kita perhatikan dengan seksama, dokumen regulasi pencegahan (penanggulangan) kekerasan dan penguatan pendidikan karakter sudah banyak. Tapi kekerasan terus terjadi bahkan makin mengganas. Itulah dampak jika regulasi dibuat sekedar pelengkap dokumen administrasi, tanpa keseriusan birokrasi pendidikan (pusat dan daerah) dalam memberikan pelatihan, pemahaman, dan evaluasi berkelanjutan kepada guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Demikian disampaikan oleh Heru Purnomo (Sekjen FSGI)


Harus ada grand design pengelolaan guru yang dibuat Kemdikbud. Benar-benar holistik dari hulu sampai hilir. Di hulu mulai dari rekrutmen mahasiswa calon guru di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Fungsi LPTK sebagai lembaga yang menyiapkan, melatih dan mengelola calon guru menjadi problematika tersendiri yang juga jadi PR-nya Mas Nadiem. Harus ada perubahan radikal membenahi LPTK: Menata ulang kembali keberadaan FKIP/LPTK yang tidak bermutu yang tersebar di pelosok tanah air, yang tiap semester meluluskan wisudawan calon guru tetapi tak pernah ada perkuliahan. Termasuk membenahi kurikulum pendidikan di LPTK agar sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0. Potret kualitas LPTK/FKIP saat ini memang memprihatinkan, menurut data Kemristekdikti dari 421 LPTK (2016), yang terakreditasi A (hanya 18 LPTK), akreditasi B (81 LPTK), sisanya akreditasi C, dan belum diakreditasi. Ke depan pemerintah harus memperketat, bahkan kalau perlu memoratorium pembukaan prodi-prodi pendidikan yang baru.


Lebih lanjut Heru mengungkapkan: Bicara di hilir adalah bagaimana pemerintah mampu menyiapkan dan mendistribusikan para guru, sehingga persoalan kekurangan guru di daerah tertentu (seperti daerah 3T; terluar, tertinggal, terdepan) terpenuhi. Supaya kelebihan guru (menumpuknya guru) di daerah/kota tertentu tidak terus terjadi. Ada sekitar 1,2 juta mahasiswa calon guru, lulusan LPTK sekitar 260.000/tahun, sedangkan angka kebutuhan guru PNS secara nasional 707.000 guru. Dibutuhkan keseriusan Kemdikbud dalam mengelola dan menyelesaikan kebutuhan guru dan redistribusi guru secara nasional.


Berdasarkan uraian masalah dasar pendidikan di atas, maka kami memberikan rekomendasi: Pola dan format pelatihan untuk meningkatkan kapasitas (kompetensi) guru harus segera direformasi total. Jangan pakai pola lama yang itu-itu saja, guru yang dilatih juga itu-itu saja orangnya, guru dari daerah diundang ke Jakarta beberapa hari mendengarkan ceramah dari narasumber Kemdikbud secara kolosal. Ini sangat tak efektif dan terkesan penghamburan anggaran. Mestinya format pelatihannya adalah 4B 1E. Pertama Berbobot, ukuran kulaitas pelatihan bukan dari lama atau singkatnya, tetapi lebih kepada konten dan pengelolaan pelatihan guru tersebut yang efektif, praktis, dan berisi.  Kedua Bermakna, yaitu pelatihan harus bermanfaat bagi guru. Sesuai dengan kebutuhan guru, bukan sesuai keinginan pemerintah pusat (daerah). Sebab kebutuhan guru-guru itu sangat berbeda, mengingat sebaran guru yang luas, karakteristik geografis yang berbeda, ditambah jenjang sekolah yang bertingkat pula. Tentu perlakuannya haruslah berbeda. Ada daerah yang gurunya lebih butuh pelatihan kompetensi profesional, ada guru justru membutuhkan pelatihan kompetensi pedagogik, atau ada juga yang lebih memerlukan pelatihan penguasaan IT, dst.  Ketiga Berdampak, pelatihan guru tersebut mesti berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran siswa. Jadi pelatihan harus mengubah cara pandang guru, mengubah kualitas pembelajaran, dan metode pembelajaran sehingga meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran siswa. Keempat Berkelanjutan, artinya pelatihan jangan selesai satu kali saja. Tetapi harus ada kontinuitas bahkankalau bisa berjenjang. Kelima Evaluasi, pelatihan yang sudah dilakukan harus dievaluasi, agar pemerintah (daerah) punya data, misal guru di sekolah X di daerah Y sudah baik atau kurang dalam kompetensi tertentu, tapi masih butuh penguatan di kompetensi lain. Jadi akan sia-sia jika model pelatihan guru adalah sekali selesai, tanpa ada perencanaan tindak lanjutnya.


Dalam pelatihan guru cara baru ini, Kemdikbud dan Pemda wajib libatkan: Organisasi profesi guru; Asosiasi profesi guru berbasis mata pelajaran; MGMP/KKG/MKKS; dan perguruan tinggi di daerah (PT, LPTK, dan lainnya). Jangan lagi pelatihan guru diadakan di Jakarta secara terbatas, tapi distribusikan ke daerah-daerah. Juga sangat urgen dilakukan Mendikbud adalah meringankan beban guru dalam penyiapan dokumen pembelajaran (RPP, Silabus, dokumen penilaian, dst) yang lebih efektif, praktis, aplikatif, dan tetap berbobot.


Rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan link and match di jenjang vokasi adalah: Berikan insentif lebih kepada guru mata pelajaran produktif agar tertarik menjadi guru di SMK; Kemdikbud bisa menginstruksikan LPTK (di bawah Kemdikbud) untuk membuat semacam kontrak agar lulusannya mengajar matpel produktif di SMK sehingga lulusan LPTK berminat menjadi guru matpel produktif; LPTK membuka prodi-prodi industri kreatif yang dibutuhkan oleh dunia industri; Libatkan dunia industri dalam mendisain kurikulum SMK berbasis karakteristik daerah dan fokus penjurusan di SMK tersebut; Pemerintah (daerah) lebih ketat dalam pemberian izin pendirian SMK baru; Pemerintah daerah bisa mengadopsi pola pendidikan di SMK Swasta tertentu yang dinilai berhasil menyerap tenaga kerja.


PPK jangan hanya menjadi slogan di sekolah. Kemdikbud wajib membuat pedoman teknisnya bagi: kepala sekolah, guru dan pengawas sekolah. Kemudian selain pedoman teknis juga dibutuhkan sosialisasi dan pelatihan. PPK mestinya dilaksanakan dengan efektif, praktis, dan berkelanjutan. Jangan memberatkan guru. Pelatihan PPK harus dipastikan sampai ke tiap-tiap guru di sekolah. PPK harus berjalan sinergis dengan program pembinaan karakter lainnya, seperti ekstrakurikuler (Pramuka), penguatan nilai-nilai Pancasila, dan pastinya Kurikulum 2013.


Harus ada grand design pengelolaan guru yang dibuat Kemdikbud. Benar-benar holistik dari hulu sampai hilir. Di hulu mulai dari rekrutmen mahasiswa calon guru di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Fungsi LPTK sebagai lembaga yang menyiapkan, melatih dan mengelola calon guru harus direvitalisasi. Dibutuhkan perubahan radikal membenahi LPTK: Menata ulang kembali keberadaan FKIP/LPTK yang tidak bermutu yang tersebar di pelosok tanah air, yang tiap semester meluluskan wisudawan calon guru tetapi tak pernah ada perkuliahan. Termasuk membenahi kurikulum pendidikan di LPTK agar sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0. Ke depan pemerintah harus memperketat, kalau perlu memoratorium pembukaan prodi-prodi pendidikan yang baru. Bahkan kami mendorong pemerintah mewujudkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 23 (1): Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan. Ini yang sampai sekarang belum kunjung terealisasi.

Halaman:

Tags

Terkini