Jakarta, Klikanggaran.com (12/8/2017) - Terlalu pagi dan terkesan lancang komentar Deputy Operasi SKKMigas, Fatar Yani Abdulrahman, yang menyatakan bahwa produksi Lapangan Kapodang yang dioperatori oleh perusahaan asal Malaysia, Petronas Carigali (PSC) Muriah Ltd., tidak bisa memproduksi gas untuk memenuhi kontraknya dengan PLN untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Lorok sampai dengan tahun 2026.
"Pasalnya, lapangan yang baru berproduksi tahun 2015 itu hanya mampu berproduksi 116 mmcfd (juta kaki kubik per hari) sampai tahun 2018. Hal itu di luar ekspektasi perusahan dan dinyatakan kondisi "Kahar" (Government Force Majeure), karena volume gas dalam reservoir dalam Plan of Develoment (PoD) yang disusun oleh operator lama, yaitu British Petroleum (BP) kenyataannya tidak sesuai dengan produksi yang didapat Petronas Carigali," kata dia pada (10/8/2019 ).
Kesimpulan dia menyatakan kesalahan itu pada perusahaan BP.
Tentu pertanyaan bodoh harus saya ajukan. Apakah komentar Fatar Yani itu merupakan sikap resmi SKKMigas atau pernyataan pribadi dia, yang juga mantan Operations Manager Petronas Carigali sebelum menjabat Deputy Operasi SKKMigas yang baru dilantik oleh Menteri ESDM Jonan pada Mei 2017?
Seharusnya dia paham, bahwa terkait dengan keadaan force majeur (kahar) dari Lapangan Kepodang ini, ada beberapa hal yang mesti diklarifikasi sebelum memberikan judgement akhir, yaitu:
1. Apakah pada saat Petronas Carigali mengambil alih saham dari PSC British Petroleum (shell) Muria telah melakukan "due diligence" yang betul atas "reserves certification" dan hasil pra PoD?
2. Apakah PoD yang diajukan dan disetujui oleh Menteri ESDM atas rekomendasi SKKMigas telah diverifikasi Ditjen Migas? Apakah benar telah melakukan review total atas data cadangan gas terbukti (sertipaksi) dan interpretasi data sistemik?
Namun demikian, mengingat kontrak PSC menyebutkan bahwa semua kegiatan eksplorasi dan pengembangan menjadi resiko kontraktor. Maka kejadian ini menjadi tanggung jawab penuh Petronas Carigali.
Adapun kerugian yang dialami Petronas Carigali antara lain:
1. Depresiasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery) menjadi beban kerugian kontraktor. Petronas harus mampu mencari solusi agar kerugian besar atas kejadian ini tidak terulang.
2. Ada kemungkinan resiko penalti dari offtaker gas yang tertera dalam Sales and Purchasing Agreement (SPA) atau kemungkinan terkena denda apabila dibawa ke arbitrase.
3. Bila cadangan gas yang sudah disertifikasi oleh sebuah lembaga dijadikan colleteral saat adanya pembiayaan proyek pengembangan. Maka Petronas Carigali harus memberikan colleteral tambahan dan beban bunga atas "project financing loan".
Padahal, jika Petronas Carigali patuh dan taat asas terhadap prosedur standar operasi dalam tahap "due diligence" akuisi blok migas, mungkin kasus Lapangan Kapodang tidak akan terjadi. Dan, terbukti SKKMigas telah gagal melakukan tugasnya sebagai fungsi pengawasan dan mengontrol pemerintah. Melakukan review atas data-data yang diberikan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Petronas Carigali. Malah anehnya, dengan mudahnya memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM.
Konsekwensinya, kerugian dari sisi pemerintah, selain telah mengeluarkan dana penggantian biaya operasi, investasi dan sun cost kepada Petronas Carigali bisa mencapai sekitar USD 400 juta (cost recovery ). Kemudian, kerugian lainnya adalah hilangnya potensi pendapatan tambahan hasil penjualan gas equity to be split dari blok ini.