kebijakan

eSPeKaPe: Tinjau Ulang Impor LNG dari Trader di Singapura

Minggu, 10 September 2017 | 23:18 WIB
images_berita_Sept17_DSC_3970

Jakarta, Klikanggaran.com (11/9/2017) – Telah beredar berita kesepakatan kontrak HOA (Heads Of Agreement) suplai gas cair (Liquefied Natural Gas / LNG) antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan traders Singapore, yaitu Keppel Offshore and Marine dan Pavilion Gas. Dimana isi HOA itu menyatakan bahwa Keppel Offshore dan Pavilion Gas akan mensuplai kebutuhan LNG dengan kapal LNG ukuran kecil untuk PLTGU kapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW untuk wilayah bagian barat Indonesia, seperti dikatakan CEO Pavilion Energy Ltd Seoh Moon Ming. Kontrak HOA ini sebagai buah hasil kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama menteri terkait saat merayakan 50 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura pada 6 September 2017.

Dari markasnya eSPeKaPe (Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina) di bilangan Jatinegara Jakarta Timur, Ketua Umum eSPeKaPe, Binsar Effendi Hutabarat, sebelumnya merasa bangga karena Presiden Jokowi berhasil membubarkan PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) pada 13 Mei 2015. Karena di dalamnya terjadi praktik kartelisasi yang menyebabkan ketidakefisienan dan diputuskan untuk membeli minyak secara langsung atau dengan pola G to G (pemerintah ke pemerintah), bukan lagi melalui orang ketiga. Transaksi impor minyak yang beredar tiap hari saat itu sebesar US$ 150 juta. Setelah pembubaran Petral, Pertamina telah menghemat US$ 22 juta dollar, dan pembubaran Petral dinilai sebagai hasil keberanian dan komitmen Presiden Jokowi untuk mewujudkan tata kelola migas yang bersih.

Namun, setelah membaca tulisan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, yang dimuat di beberapa media online, memandang perlu untuk eSPeKaPe mengingatkan pihak pemerintah. Menurut Binsar Effendi yang juga Ketua Dewan Penasehat Markas Besar Laskar Merah Putih (Mabes LMP) dan aktivis KAPPI Angkatan 1966, perihal informasi yang semula merebak ke publik pada 15 Agustus 2017, sempat membingungkan dan menimbulkan tanda tanya besar.

“Bagaimana mungkin perusahaan trader yang mempunyai storage LNG di negara yang tidak ada sumber gasnya bisa menjual murah LNG daripada LNG milik bagian negara seperti yang dimiliki KKKS, Pertamina, dan PGN? Itu kan, kurang logis. Sekalipun suplai LNG tersebut untuk memenuhi kebutuhan PLN di wilayah Kepri dan Natuna,” ujarnya.

“Tentu hal ini dianggap prestasi luar biasa, dan bagi Singapura adalah wajar. Sebab sekelas trader dan tak punya sumber gas bisa menundukkan sebuah negara besar yang menghasilkan gas. Di mana letak kedaulatan energi kita jika demikian? Hal inilah yang membuat kami Pensiunan Pertamina merasa kurang menaruh respons atas adanya impor LNG itu,” imbuh Binsar Effendi dalam rilisnya yang disampaikan kepada Klikanggaran.com di Jakarta, Minggu (10/9/2017). 

Menurut Binsar, nampak mulusnya kontrak impor LNG ini, karena mendadaknya Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tanggal 30 Januari 2017 menjadi Permen ESDM Nomor 45 Tahun 2017 pada 25 Juli  2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Listrik.

“Dimana pada Pasal 8 ayat 2 di aturan ini tertulis dalam hal PLN atau BUPTL (Badan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik) tidak dapat gas bumi melalui pipa di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari harga ICP (Indonesian Crude Price) sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Maka PLN dan BUPTL dapat melakukan poin dua. Dimaksud dalam hal terhadap harga LNG domestik di plant gate sama dengan harga LNG impor, PLN wajib membeli LNG dari dalam negeri. Artinya, cukup PLN bisa membuktikan, bisa mendapat harga impor lebih murah 1 sen dolar AS dari harga LNG dalam negeri,” kata Binsar Effendi.

Sementara, Direktur Pengadan Strategis PLN, Nicke Widyawati, pada 8 September lalu  mengatakan bahwa PLN tidak ada rencana mengimpor LNG dalam waktu dekat dan sampai dengan tahun 2022.

“Artinya, PLN sudah aman mendapat kepastian suplai gas untuk kebutuhan seluruh pembangkitnya yang menggunakan bahan energi gas, walaupun pada akhirnya dia mengakui telah menandatangani MOU saja, bukan HOA,” ungkap Binsar Effendi.

Hal ini, menurut Binsar memang sejalan dengan pernyataan Direksi PLN, IGN Wiratmaja Puja, ketika masih menjabat Dirjen Migas, yang mengatakan bahwa berdasarkan neraca gas Kementerian ESDM akan direvisi atas keluarnya produksi lapangan Jangkrik Blok Muara Bakau dan Train 3 Blok Tangguh, maka tidak akan melakukan impor LNG sampai tahun 2020.

“Alasannya karena ada sekitar 16-18 kargo LNG belum terserap oleh pasar dan akan dialokasikan untuk kepentingan domestik. Bahkan di tahun 2016 ada sekitar 66 kargo LNG yang tidak terserap, sehingga sebagian besar diekspor. Kan menjadi paradox,” tutur Binsar Effendi.

“Sudah pastilah publik menjadi makin bingung dengan sikap pemerintah yang kemudian mendorong pihak PLN untuk merealisasikan kerja sama suplai LNG antara traders Singapura dengan pihak PLN hanya dengan alasan harganya lebih murah, yang belum tentu benar juga. Seharusnya kargo LNG dari Blok Tangguh dan Blok Muara Bakau sebagai DMO (Domestic Market Obligation) yang harus dibeli PLN dengan harga minimal sama dengan harga impor LNG. Artinya, PLN membeli dengan harga MOPS (Mid Oil Platts Singapore),” lanjut Binsar Effendi yang juga penasehat Pelaut Senior.

Binsar Effendi menambahkan, jika dikaitkan dengan kebijakan Presiden Jokowi bahwa harga gas di hulu harus bisa murah dan di bawah US$ 6 per MMBTU, agar industri yang berbahan baku gas bisa bersaing.

“Dan, pada 12 November 2016 dalam rapat koordinasi untuk menjalankan perintah Presiden soal harga jual gas, telah didapat harga FOB (Free On Board)  US$ 4 per MMBTU, adalah harga terbaik bagi industri bisa bersaing. Merupakan kebijakan Presiden Jokowi yang seharusnya patut diperhatikan oleh para menteri terkait,” katanya.

Halaman:

Tags

Terkini