bisnis

Curhatan Bos McDonald's tentang Dampak Bisnis Signifikan Akibat Seruan Boikot di Negara-Negara Muslim, Bagaimana Laporan Keuangannya?

Minggu, 14 Januari 2024 | 06:58 WIB
Salah satu gerai McDonald's (mcdonalds.co.id)

KLIKANGGARAN -- Bagaimana pertumbuhan McDonald setelah gerakan boikot menghantamnya? Laporan Russian Market yang dipublikasikan lewat Russian Today mengatakan bahwa McDonald’s Corporation sedang menghadapi penurunan bisnis yang signifikan di beberapa pasar Timur Tengah dan sekitarnya.

Penurunan bisnis McDonald's disebabkan meningkatnya kontroversi yang berasal dari dugaan dukungan perusahaan tersebut terhadap Israel di tengah perang yang sedang berlangsung antara Israel dengan Hamas.

Chris Kempczinski, CEO McDonald's, mengungkapkan bahwa perusahaannya menyaksikan “dampak bisnis yang berarti” setelah meluasnya boikot pelanggan, sehingga memicu kekhawatiran terhadap operasi regional dan global raksasa makanan cepat saji tersebut.

Kekhawatiran Kempczinski terkait bisnis McDonald's terungkap dalam postingan blognya di LinkedIn:

“Beberapa pasar di Timur Tengah dan beberapa pasar di luar kawasan mengalami dampak bisnis yang berarti akibat perang dan misinformasi terkait yang memengaruhi merek seperti McDonald’s. Hal ini mengecewakan dan tidak berdasar. Di setiap negara tempat kami beroperasi, termasuk negara-negara Muslim, McDonald’s dengan bangga diwakili oleh pemilik operator lokal yang bekerja tanpa kenal lelah untuk melayani dan mendukung komunitas mereka sambil mempekerjakan ribuan warga negara mereka.”

Katalis kemunduran ini terletak pada penyebaran gambar dan video di seluruh platform media sosial, yang mengungkapkan bahwa toko waralaba McDonald’s di Israel menyediakan makanan gratis kepada anggota militer Israel.

Kemarahan masyarakat yang diakibatkannya telah menimbulkan boikot spontan, dimana konsumen di Timur Tengah dan negara mayoritas Muslim lainnya seperti Arab Saudi, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia menyatakan ketidakpuasan mereka dan menyerukan boikot terhadap jaringan burger ikonik tersebut.

Kempczinski mengakui parahnya situasi ini, dan menyebutkan dampaknya terhadap berbagai pasar di Timur Tengah dan sekitarnya. Meskipun ia mengecam sifat boikot yang “mengecewakan dan tidak berdasar”, ia secara khusus menahan diri untuk tidak memberikan rincian spesifik mengenai skala dampak bisnisnya.

Dengan adanya sekitar 2.000 restoran McDonald’s di wilayah ini, dampak yang ditimbulkan sangat besar, hal ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan multinasional dalam mengatasi konflik yang bersifat geopolitik.

Skenario McDonald’s tidaklah terisolasi, karena merek-merek besar Barat, termasuk Starbucks dan Unilever, mendapati diri mereka terjerat dalam kontroversi serupa karena persepsi keberpihakan mereka dalam konflik Israel-Palestina.

Kompleksitas dalam mengelola persepsi publik dan kepentingan bisnis dalam menghadapi isu-isu sensitif secara politik telah terbukti menjadi beban yang berat bagi entitas global ini.

Meskipun terjadi boikot dan ketegangan geopolitik, baik McDonald’s maupun Starbucks melaporkan angka penjualan global yang positif.

McDonald’s, khususnya, melaporkan peningkatan sebesar 10,9% pada Q4 2023, melampaui ekspektasi penurunan yang lebih signifikan. Ketahanan ini menggarisbawahi adanya interaksi antara citra merek global dan kontroversi regional.***

Tags

Terkini