Jakarta, Klikanggaran.com (21-11-2018) - Bukan hal yang tidak mungkin untuk menjanjikan kebaikan bagi setiap warga Indonesia guna meraup suara dalam pilpres 2019. Akan tetapi, janji-janji itu harus menimbang segala resiko dan dampak yang muncul, sehingga lebih terasa realistis dan bukan bermimpi.
Koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran yang terdiri dari Lembaga Kaki Publik dan Lembaga CBA, Adri Zulpianto, menilai bahwa menjanjikan guru dengan gaji Rp 20 juta per bulan mungkin bukan sesuatu yang sulit untuk direalisasikan. Mengingat APBN pada tahun 2017 saja mencapai Rp 1.750,3 triliun. Sehingga, dengan melihat besaran APBN tersebut, bukan hal yang mustahil bagi pemimpin Negara yang terpilih nanti untuk menggaji guru sebesar Rp 20 juta per bulan.
“Pada tahun 2018, jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,2 juta guru yang sudah termasuk di dalamnya guru honorer K2 yang berjumlah 1,53 juta guru. Jika masing-masing guru mendapatkan gaji sebesar Rp 20 juta per bulan, maka anggaran Negara yang digunakan untuk menggaji guru mencapai sekitar Rp 64 triliun per bulan. Maka, setiap tahunnya Negara akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 768 triliun hanya untuk menggaji guru. Maka dari itu, 90% lebih APBN hanya digunakan untuk menggaji guru, dengan catatan, seluruh guru akan mendapatkan gaji sebesar Rp 20 juta per bulan,” papar Adri.
Namun, menurut Adri, yang perlu untuk diketahui adalah, segala upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru sudah dilaksanakan pada zaman kepemimpinan SBY. Di mana guru dipaksa untuk menjalankan banyak aplikasi yang disediakan pemerintah, hingga system online yang digunakan untuk menjamin kualitas guru. Tapi nyatanya, permasalahan kesejahteraan guru tidak kunjung tuntas, terutama permasalahan guru honorer. Bahkan yang dirugikan adalah siswa sekolah, karena menjadi terbengkalai disebabkan repotnya guru mengurusi semua aplikasi yang disediakan pemerintah.
Adri menilai, permasalahan yang sering terjadi dalam kesejahteraan guru bukanlah persoalan besaran gaji yang diterima, melainkan ketimpangan kesejahteraan antara guru honorer dengan guru PNS. Sedangkan pekerjaan yang diemban oleh masing-masing guru adalah sama.
“Lebih jelas lagi, persoalan guru adalah masa mengajar. Ada guru yang telah lama mengajar, tetapi tidak pernah diangkat menjadi PNS hanya karena guru tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan study S1. Ada pula guru honorer yang sudah menyelesaikan study S1, tapi tidak kunjung diangkat menjadi guru PNS hanya karena sering terjadi jual-beli jabatan yang tidak dapat terdeteksi oleh pihak berwenang,” jelas Adri.
Maka dari itu, Adri mengungkapkan, janji capres untuk menggaji guru demi kesejahteraan guru jangan dilihat dari besaran nominal yang diberikan, tapi asas keadilan bagi semua guru yang ada. Sehingga, janji gaji Rp 20 juta per bulan untuk guru tidak hanya menjadi pencitraan politik, tapi juga bicara tentang permasalahan guru secara menyeluruh.
“Jika gaji guru-guru dinaikkan menjadi Rp 20 juta per bulan, maka kita akan mengalami fase kemunduran. Di mana guru akan lebih disibukkan dengan menaikkan gradenya sebagai guru dengan banyaknya aplikasi mutu guru, ketimbang meningkatkan pendidikan, potensi dan kompetensi siswa di sekolah serta kebutuhan operasional sekolah. Karena anggaran Negara yang ada habis digunakan hanya untuk menggaji guru dengan hasil anak didik yang tidak terurus,” pungkas Adri.