Jakarta, Klikanggaran.com (17/2/2017) - Harus diakui dan diyakini, bahwa survey memang menjadi bagian dari instrumen pemenangan, tapi cukup menjadi bahan pertimbangan. Memang tidak salah, banyak lembaga survey yang menempatkan AHY pada posisi pertama, bahkan salah satu lembaga survey masih juga menempatkan AHY di peringkat pertama pada H-5, itu sama sekali tidak salah. Demikian disampaikan oleh Arteria Dahlan, anggota Komisi II DPR RI, di Jakarta, Jumat (17/2/2017).
“AHY sempat mendominasi tatkala dua paslon terlihat lengah untuk tidak menjadikan AHY sebagai lawan/kompetitor yang harus diperhitungkan. AHY pada awalnya dipersepsikan sebagai bagian dari politik dinasti yang dipaksakan hadir secara "karbitan" atas nama dan kuasa orang tua. Hampir semua pihak tidak menganggap AHY sebagai figur potensial yang layak diperhitungkan. Akan tetapi, hal tersebut berubah total tatkala AHY mampu keluar dari "pagar politik oligarki,” tutur Arteria, mengawali ulasannya seputar Pilkada DKI Jakarta pada putaran pertama.
Dalam pandangan Arteria, AHY mampu memperlihatkan bahwa ia punya kualitas, kapasitas, dan kapabilitas, apalagi publik melihatnya sebagai "fast learner" yang dalam waktu singkat mampu menyulap dirinya dalam berbagai hal. Ditambah lagi konsilidasi kepartaian Partai Demokrat yang luar biasa hebat, sehingga mau tidak mau semua paslon menganggap AHY adalah ancaman dan kompetitor yang harus sangat diperhitungkan.
Nah, lanjut Arteria, pada keadaan ini, semua pihak merasa berhadapan dengan kompetitor yang setara, bahkan AHY sempat dijadikan kompetitor terhebat, sehingga kompetisi semakin berat dan peta terlihat semakin jelas. Polarisasi terlihat bukan pada pencitraan atau janji-janji, melainkan lebih ditekankan pada kinerja, kemampuan bekerja, dan hasil yang telah dikerjakan atau kerja nyata serta prestasi, juga rekam jejak paslon.
“Pada tatanan ini posisi AHY memang cukup tergerus, mengingat, walaupun AHY figur potensial. Namun, AHY belum berpengalaman di pemerintahan, belum memiliki prestasi di hadapan publik, dan programnya terkesan penuh muatan janji daripada bukti. Keadaan diperparah seiring ekskalasi politik menjelang hari H, dimana AHY terlihat "kesulitan" membumikan program, visi misi, dan gagasan pada saat memasuki tahapan debat publik. Terlihat jarak antara Janji Kampanye dan Keyakinan Publik. Tahapan inilah yang membuat elektabilitas AHY semakin tergerus di mata publik, mengingat rakyat Jakarta sebagian besar rasional, berpendidikan, dan tidak mudah dibuai oleh janji. Mereka lebih memilih rekam jejak dan prestasi paslon,” paparnya.
Arteria menekankan, perlu diingat bahwa Jakarta berbeda dengan wilayah lain dimana kehadiran teknologi sampai kepada pribadi individu, sehingga dipastikan semua pihak telah memiliki informasi yang berkecukupan sebelum memilih paslon. Faktor eksternal Tim Pemenangan AHY juga cukup berkontribusi negatif bagi publik, seperti cuitan Annisa Pohan, Ciutan Ani SBY, dan SBY sendiri, yang sejatinya bernilai dan bermaksud positif. Tapi, telah diterjemahkan oleh publik menjadi janggal dan kontraproduktif, yang terkesan menggerus popularitas.
“Kejadian pun tidak berhenti sampai di situ, dialektika publik yang dilakukan Pak SBY dalam beberapa konferensi pers yang bermaksud baik, kembali direspon publik menjadi negatif, hal mana, di luar kontrol Tim Pemenangan AHY, memporakporandakan elektabilitas AHY. Ini pelajaran berharga bagi siapapun, dimana sikap reaksioner dalam politik, dalam banyak hal kurang menguntungkan,” katanya.
Kejadian tersebut dalam pengamatan Arteria justru berkebalikan dengan Ahok. Ahok telah mengalami tsunami politik yang begitu hebat tatkala dihadapkan pada aksi massa yaitu aksi 411, 212, dan 112, serta dijadikan pesakitan di ruang persidangan. Tsunami politik tersebut pada tatanan ekskalasi mengalami penurunan seiring berjalannya waktu mendekati hari H. Persidangan Ahok dari waktu ke waktu justru semakin memperlihatkan terangnya duduk perkara. Rakyat Jakarta mulai tercerahkan dan lebih obyektif. Dari Kubu Ahok, justru tsunami politik tersebut yang pada titik klimaksnya berupa serangan terhadap Ibu Megawati Soekarno Putri, menjadi titik klimaks dan "point of no return" bagi seluruh kader, simpatisan, dan relawan, serta silent majority yang membuahkan konsolidasi politik dan penguatan dari proses kesabaran revolusiuner yang berbuah "semangat juang", baik bagi paslon Ahok-Djarot, struktur partai, maupun relawan.
Sehingga, trennya menjadi positif hingga hari H pemungutan. Itulah yang menjadikan elektabilitas Ahok terselamatkan. Jangka waktu tsunami politik sampai dengan hari H pemungutan telah dapat dipergunakan secara optimal dan maksimal oleh Pak Ahok untuk melaksanakan kerja politik secara serius sekaligus memperbaiki diri serta fokus pada meyakinkan hati rakyat hanya pada program visi misi dan kerja nyata untuk Jakarta.
Inilah yang menurut Arteria menjadikan kewarasan publik Jakarta tetap terjaga, di tengah hiruk-pikuk dan simpang-siur informasi yang cukup membingungkan publik. Tapi, seperti dikatakan oleh Arteria, rakyat Jakarta telah berhasil membuktikan bahwa mereka adalah pemilih rasional, kritis, dan cerdas, dimana mereka memilih dengan keyakinan dan suara hati nurani.
“Saya salut dengan sikap ksatria AHY. Tidak ada yang kalah. AHY berhasil memenangkan hati rakyat Jakarta sekaligus menjadi contoh bagaimana fairness dan jiwa supportive harus dihadirkan dalam setiap kompetisi. Semoga dapat ditiru oleh berbagai paslon yang usianya jauh lebih senior. Hasil ini juga memperlihatkan kemenangan rakyat Jakarta sekaligus membuktikan rakyat Jakarta sangat rasional, berpendidikan, terlatih untuk perbedaan serta memastikan berpolitik itu suatu kehormatan dan bagian dari pembangunan peradaban. Seluruh mata dunia saat ini sangat kagum dengan Pemilu yang ada di DKI, dengan ada kompleksitas yang begitu hebat, setelah Pemilu, rakyat kembali menjadi kesatuan NKRI,” tutup Arteria.