Anak Tanah Abang Memimpin Pasundan, Melanggarkah atau Tidak?

photo author
- Rabu, 20 Juni 2018 | 09:54 WIB
images_berita_2018_Jun_IMG-20180620-WA0011
images_berita_2018_Jun_IMG-20180620-WA0011

Jakarta, Klikanggaran.com (20-06-2018) - Pelantikan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional, Komjen Pol Mochamad Iriawan, menjadi Pejabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar). Sejauh ini, hal ini masih menjadi perbincangan yang menarik untuk dikaji keabsahannya (dasar hukum) sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.

Sampai saat ini, pelantikan anak Tanah Abang yang kini memimpin Pasundan ini masih menjadi perdebatan panas. Sehingga yang tersirat di publik memiliki dua versi dasar hukum. Versi pertama adalah bahwa pelantikan tersebut melanggar undang-undang, sedangkan di sisi lain menjadi versi kedua, pelantikan tersebut tidak melanggar undang-undang.

Mendagri sendiri sudah mengantongi beberapa undang-undang, bahwa pengakatan M Iriawan alias Iwan Bule dari kalangan Polri ini sudah sesuai dengan jursprudensi yang ada.

Sebagaimana yang diketahui, untuk versi pertama bahwa penunjukan Komjen Iriawan sebagai Pejabat Gubernur sudah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Seperti yang tertera pada pasal 201 ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, diatur bahwa :

"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Pejabat Gubernur yang berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Kemudian, berdasarkan penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf b UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN, diatur bahwa:

"Jabatan Pimpinan Tinggi Madya meliputi: Sekjen dan Sekretaris Kementerian, Sestama, Sekjen Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekjen LNS, Dirjen, Deputi, Irjen, Inspektur Utama, Kepala Badan, Staf Ahli Menteri, Kesetpres, Kasetwapres, Sesmilpres, Seswantimpres, Sekda Provinsi, dan jabatan lain yang setara".

Dan, terakhir berdasarkan pasal 148 PP No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, diatur bahwa:

"Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Polri yang berada di instansi pusat dan sesuai dengan dengan UU tentang TNI dan UU tentang Polri".

Jadi kesimpulannya, versi ini meyakini bahwa Prajurit TNI atau Anggota Polri yang sedang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Instansi Pusat tertentu (misalnya di Kemenkopolhukam, Kemhan, Lemhanas) dapat diangkat sebagai Pejabat Gubernur.

Sedangkan versi lainnya, banyak yang menilai kebijakan tersebut diindikasikan melanggar tiga sekaligus juga salah satunya yang ada di UU No 5 Tahun 2014 tadi tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Jadi dalam pasal 28 ayat 1 ini, undang-undang jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Sehingga kedua versi ini memiliki dasar hukum yang kuat sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Namun, dasar hukum manakah yang harus dipercayai oleh publik saat ini?

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Heryanto

Rekomendasi

Terkini

X