Paus Fransiskus, Prabowo Subianto dan Semua Orang Miskin Terpinggirkan

photo author
- Senin, 13 November 2023 | 09:45 WIB
Prabowo Subianto
Prabowo Subianto

Sejak jaman dahulu para punggawa kuasa bangsa ini berhipotesa bahwa negara gagal karena adanya kesenjangan (gap) infrastruktur yang dimiliki antara negara kaya dan miskin.

Ternyata salah! Meskipun investasi begitu banyak, negara dengan berambisi untuk metamorfosis aksesibilitas dan moda transportasi darat, laut dan udara, namun tetap saja tidak akan menjadikan Indonesia menjadi negara maju bahkan negara bisa terancam gagal karena ketidakmampuan sumber daya teknologi, tenaga dan dana, akhirnya tersandera dalam perangkap utang.

Sebagai contoh di Amerika Serikat dan Meksiko, Korea Utara dan Korea Selatan, Jerman Timur dan Barat. Sebelum reunifikasi tetap saja memiliki kesenjangan sebagai negara kaya dan negara miskin, meskipun mempunyai infrastruktur yang hampir sama hebat.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain tidak akan bisa memperbaiki Indonesia sebagai negara yang berpotensi menjadi negara gagal.

Dalam buku Nagara Gagal, secara jelas menyatakan bahwa suatu negara gagal karena sumber daya ekonomi yang ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), sementara sumber politik dan kekuasaan menopang kelompok kecil oligarki tersebut.

Prabowo Subianto adalah seorang nasionalis dan patriot, telah lama berjuang agar Indonesia menjadi bangsa yang tidak hanya mandiri tetapi berdaulat. Bangsa yang tidak gampang jatuh dalam penetrasi kapital dan hegemoni dunia ekonomi kapitalisme.

Prabowo tidak mau jika negara menjadi komprador kapitalisme karena Kapitalisme mengajarkan setiap orang bertarung dan bertahan dalam ketidakberdayaan (survival) dan orang miskin akan terancam, bangsa bumi putra tergerus dalam jurang kemiskinan.

Negara mesti sebagai pelopor dan perintis untuk intervensi menyelamatkan rakyat bahkan Prabowo juga menginginkan adanya subjek pembangunan dilakukan melalui kemitraan abadi antara negara dan rakyat.

Tidak hanya public private partnership (PPP), tetapi public state partnership (PSP). Prabowo adalah antitesa semua pemimpin yang konon katanya yang justru sumber daya ekonomi terpusat pada oligarki ekonomi, sumber daya ekonomi tergadai pada investasi asing, bahkan swasta sebagai aktor pembangunan nasional.

Dalam buku Paradoks Indonesia, Prabowo Subianto secara jelas dan tegas menginginkan pemerintah bertindak sebagai pelopor, bahkan proaktif untuk kemakmuran rakyat, pengentasan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, pembangunan sarana dan prasarana dan peningkatan sumber daya manusia melalui kompetensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan mental dan moral (atittute).

Cara pandang Prabowo Subianto yang mau menghadirkan pembangunan di tengah-tengah orang miskin, terpinggirkan dan di pedesaan ingin mengubah pembangunan nasional yang selama ini berpusat di kota-kota sebagai pusat pelayanan (services centre) juga kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan (growth centre).

Memang Prabowo mau mengobati bulir-bulir yang mendalam karena tingginya disparitas pembangunan, sosial dan ekonomi, disparitas antara Timur dan Barat Indonesia, disparitas antara desa dan kota.

Prabowo menyadari bahwa di masa lalu, orang desa adalah korban dari para ekonom yang mendapat julukan Mafia Barkley yang merancang bangun negara dengan sistem kapitalis menciptakan kelompok oligarki, juga berpaham liberal memberangus cara pandang bumiputera yang berpedoman pada nilai-nilai lokal (local values).

Akibatnya, kaum bumiputera tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam dunia bisnis, juga tidak mampu memasuki dunia kerja yang membutuhkan standar kompetensi dan sertifikasi. Kemampuan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) juga perilaku dunia kerja (attitute) masih jauh lebih rendah dari negara-negara lain.

Prabowo dalam buku Paradoks Indonesia dan komitmen terhadap orang miskin yang mau membangun Indonesia dari basis kehidupan masyarakat desa, sebuah antitesa dari konsep efek tetesan ke bawah (trikle down effect) yang primadona di negara-negara selatan-selatan di dunia ketiga di 70-an sampai medio 90-an.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X