Jakarta, Klikanggaran.com - PT. DI (Dirgantara Indonesia) (persero) pada mulanya didirikan dengan nama PT. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Pergantian nama dari PT. IPTN menjadi PT. DI berdasarkan akte yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Hj. Imas Tarwiah Soedrajat, S.H. Nomor 26 tanggal 9 Oktober 2000.
Ternyata, dengan perubahaan nama perusahaan dari PT. IPTN menjadi PT. DI ini tidak membuat kinerja perusahaan BUMN plat merah ini meningkat menjadi lebih maksimal dan dikagumi oleh publik.
“Kinerja dalam "pembuatan" pesawat atau helikopter dinilai ber-rapor merah, mengecawakan banget. Padahal untuk kepentingan angkutan militer,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Jemi Trisonjaya, dalam suatu kesempatan.
Menurut sumber (di kalangan pemerhati industri dirgantara), pengadaan dan pemeliharaan Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) TNI Angkatan Udara selama ini dipegang oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI). TNI AU cukup familiar untuk mengoperasikan helikopter di dalam keluarga Puma, produksi Airbus Helicopter, Perancis, seperti pada seri AS332 Super Puma dan SA330 Puma, dengan lisensi produksi PTDI sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.
Tetapi, bahkan dari sisi produk pun PTDI saat ini dinilai sangat kurang memadai. Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini beberapa kali matra udara dari keluarga Super Puma itu mengalami kecelakaan. Hingga April 2016 silam, Super Puma tercatat mengalami beberapa kali musibah.
Kejadian paling update ialah kecelakaan fatal yang menimpa helikopter H225 Super Puma LN-OJF milik CHC Helicopter Service yang mengangkut pekerja minyak lepas pantai dari rig Gullfaks B milik perusahaan Statoil di Laut Utara, 29 April lalu. Kecelakaan akibat lepasnya bilah rotor utama sehingga helikopter terjun bebas itu menewaskan 13 penumpang, termasuk pilot dan ko-pilot.
“Bilah baling-baling ditemukan 300 meter jauhnya dari fuselage helikopter. Ini kesekian kalinya H225 mengalami kecelakaan,” ucapnya.
Sementara itu, varian militer dari H225 yaitu EC725, juga sama. Pada 2013 dilaporkan bahwa EC725 yang dipesan AU Malaysia terkena imbas prosedur inspeksi darurat yang dikeluarkan akibat kecelakaan pada 2012, dimana AU Malaysia direpotkan dengan pemeriksaan gearbox setiap 2,5 jam terbang, dan Caracal hanya bisa diterbangkan dengan torsi 70% dari daya maksimumnya. Hal ini tentu saja menurunkan kesiapan pesawat dan memperpanjang siklus persiapan sebelum helikopter dapat diterbangkan.
Sedangkan EC725 Cougar yang sempat digunakan oleh beberapa negara seperti Perancis, Brazil, Meksiko, Malaysia, dan Thailand, sejak tahun 2005 pun kini dikabarkan hanya berada dalam posisi ground it. Terakhir, Pemerintah Polandia terdengar berencana membatalkan order 50 unit EC725 karena minimnya transfer teknologi dan porsi komponen yang dikerjakan industri lokal.
"Lantas, apakah helikopter dari keluarga Super Puma ini masih meyakinkan dan pantas dijadikan pelengkap matra udara RI? Artinya, TNI harus melakukan evaluasi, kalau perlu "men-delete" Super Puma sebagai alat pertahanan negara kita. TNI harus cari helikopter yang teknologinya lebih canggih dari Super Puma, untuk kebutuhan alat pertahanan negara ini,” tambahnya.
Jajang Nurjaman, Kordinator Investigasi CBA mengungkapkan, selain TNI AU kecewa, ada juga TNI AL yang melihat kinerja PT. DI yang pernah tercatat banyak memiliki ‘rapor merah’ dalam melaksanakan kewajibannya kepada TNI AL. Misalnya, Pekerjaan belum selesai, tapi anggaran sudah dibayar di atas 50 persen. Contoh lain, pada tahun 2011 TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell.412EF tahap II dengan nilai Rp 220.000.000.000 oleh PT. DI, dan dalam pekerjaan ini, PT. DI sudah dibayar sebesar Rp 212.415.954.199 atau 96 persen. Tetapi, pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20 persen.
“Uang negara mereka embat atau terima, tapi seperti males-malesan menyelesaikan pekerjaan tersebut,” cetusnya pada klikanggaran, Selasa (19/9/2016).
Untuk data-data kasus yang sudah disajikan tersebut, Center For Budget Analysis (CBA) menilai bahwa PT. DI akan banyak ditinggal para lembaga negara karena kinerja tidak selalu memadai.