peristiwa-ibu-kota

Kembali ke Khittah 1928

Rabu, 2 November 2016 | 03:23 WIB

Jakarta, Klikanggaran.com - Dengan masih membawa napas Sumpah Pemuda, Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) menyelenggarakan dialog dan rapat pemuda, serta konferensi pers yang bertajuk nasionalisme dan kembali ke jati diri bangsa, dengan tema “KEMBALI KE KHITTAH 1928”. Dialog yang dimaksudkan untuk "Meneguhkan Komitmen Bhineka Tunggal Ika Serta Mewujudkan Negara Amanat dan Cita-Cita Proklamasi 45 Demi Keutuhan Bangsa)” ini diadakan pada hari Rabu, 2 Nopember 2016 pukul 13.00 di Gedung. PBNU Lantai 5 (meeting room), Jl. Kramat Raya No. 164.

 

Adapun tema yang akan dibawakan dalam diskusi tersebut adalah sebagai berikut:

Pemuda, sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat saja. Sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi, jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural. “Pemuda harapan bangsa”, “pemuda pemilik masa depan bangsa”, dan sebagainya, betapa mensaratkan nilai yang melekat pada kata “pemuda.”

Pernyataan menarik di atas, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan. Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri.

Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah telah membuktikan pula bahwa pemuda merupakan penggerak utama “denyut nadi revolusi” suatu bangsa di manapun, tak terkecuali Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 (konon, sebagai gerakan kebangkitan nasional pertama), merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu memunculkan kesadaran moral kebangsaan dua puluh tahun kemudian dengan melahirkan peristiwa monumental bagi persatuan dan kesatuan sebuah bangsa besar. Pada 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda dari berbagai suku dan daerah berikrar dan menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Inti dari sumpah itu adalah membangun rasa persaudaraan sebangsa setanah air. Ikrar suci dan semangat nasionalisme itu kemudian mengkristal dan menjemal menjadi gerakkan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian, yang menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarano dan Hatta (yang tak lain adalah orang-orang muda).

Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan “revolusi kaum muda”. Sebagaimana dinyatakan oleh Taufik Abdullah di atas, prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan.

Namun, melihat realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Gagasan dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, kharismanya melarut dan daya revolusinya mati muda dan mati suri.

Apa sebab? Virus mediokrasi alias pendangkalan moral telah menjangkiti dalam diri pemuda dan para elit politik, mulai dari eksekutif, legeslatif sampai yudikatif (yang di dalamnya juga terdapat orang-orang muda) seharusnya (mau) belajar (lagi) sikap idealisme. Segala tindak-nalar mereka absen dari rambu moral, hukum dan tata nilai yang ada. Semuanya asal instant saja. Banyak orang terutama elit politik (khususnya yang muda) memiliki kecenderungan untuk mengambil jalan pintas. Paradigma hidup mereka sangat taktis-pragmatis sesaat dan jangka pendek semata. Mereka tidak memiliki pandangan jauh ke depan, dengan kata lain tidak visioner. Semua orang ingin cepat kaya tanpa harus kerja keras dan melalui cara yang benar! Berharap akan terjadi sebuah transformasi diri dari hidup yang ”biasa” menjadi ”tidak biasa/sejahtera.” Dari yang ”miskin” menjadi tidak terlalu ”miskin” (menjadi kaya harta). Harapan akan transformasi diri pribadi inilah telah menanamkan sikap pragmatis dan mental korup dalam benak orang muda dan elit politik di negeri ini. Semangat serta etos kerja keras sudah tidak lagi jadi budaya bangsa. Justru, para elit pemangku jabatan publik ramai-ramai melakukan korupsi berjama’ah. . Inilah, ketika etos kerja keras tidak dibudayakan, maka korupsi menjadi jawabannya. Mengerikan!

Sehingga sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri 71 tahun lalu, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya “ketahan dan kedaulatan bangsa.” 

Padahal, bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas  yang diimajinasikan sebagai  entitas dari warisan teritoral jajahan Belanda.  Sedang  negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.

Persoalannya kemudian mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi mei? Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena; Pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. 

Kedua, kita belum benar-benar siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta, ‘panitia kesejahteraan rakyat’.

Ketiga, sebagai bangsa kita sudah melupakan janji suci-ikrar setia sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa serta amanat dan cita-cita Proklamasi 45.

Atas beberapa alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang peran dan eksistensi pemuda dalam konteks pembangunan Indonesia. Yaitu dengan semangat kembali ke khittahnya pemuda sebagai lokomotif penggerak perubahan. Sebagai tulang punggung negara dan pemilik-pewaris sah masa depan bangsa. Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak phobia terhadap negara dan kapitalisme.

Halaman:

Tags

Terkini