Jakarta, Klikanggaran.com - Dalam rangka mengisi Hari Sumpah Pemuda, Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) hari ini mengadakan diskusi bertema "Dengan Semangat Sumpah Pemuda Mari Kita Rajut Nilai-nilai Kebangsaan dan Bhineka Tunggal Ika” bertempat di Gedung PBNU Lantai 5 (meeting room), Jl. Kramat Raya No. 164, Jakarta, Jumat (28/10/2016).
Berikut tema diskusi yang digelar dalam forum:
Sebentar lagi Jakarta akan memilih pemimpinnya. Tentu saja ini bukan pengalaman pertama bagi Ibu Kota negara. Ini pengalaman ketiga kalinya yang justru tertinggal dari daerah lain (propinsi atau pun kabupaten) yang lebih dulu mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung.
Tulisan ini hendak mengajak kita semua merenungi sejenak jagad perpolitikan di jantung negara “berkembang”. Kita semua sadar Jakarta seperti barometer bagi partai-partai politik (tokoh-tokoh politik nasional) mengukur kekuatan, kapasitas sekaligus elektabilitasnya menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Timbullah slogan atau jargon, siapa bisa “memimpin” (mengambil) Jakarta, maka akan menguasai republik. Jargon ini bagai mitos yang mentradisi banyak kalangan dan politisi. Apa buktinya? Lihat saja hiruk-pikuk menjelang pendaftaran Bakal Calon (Balon) Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Seluruh elit bahkan Ketua Umum Partai Politik turun gunung mengambil alih langsung hajat para pimpinan parpol tingkat propinsi. Pertanyaannya, demokratiskah langkah tersebut? Ah, biarlah pengurus parpol-parpol sendiri yang menjawab.
Di sela kekhawatiran sejumlah pihak dan pengamat, ada sedikit kabar bahagia dan secercah harapan. Munculnya orang-orang muda berbakat dan pintar. Saya tak perlu menyebutkan nama-nama. Saya berusaha menghindari dan tidak mau terseret-seret kepentingan politik praktis. Sebab, atmosfir Pilkada DKI Jakarta menunjukkan gejala politik taktis dan pragmatis (setidaknya menurut penulis). Apa buktinya? Tengok saja perbedaan sudut pandang, aspirasi bahkan hak menjatuhkan pilihan Bacagub dan Bawagub DKI Jakarta oleh konstituen/basis partai berbeda bahkan diambil alih langsung oleh Ketua Umum Partai. Tengok pula detik-detik terakhir munculnya nama Bacagub dan Bawagub yang dijagokan oleh sejumlah gabungan parpol di ujung tikungan. Atau lihat lagi kesepakatan dua parpol yang mereposisi Bacagub menjadi Bawagub.
Tetapi sekali lagi, ah, biarlah itu menjadi urusan dan permainan para elit partai politik. Yang menjadi urusan kita adalah sesungguhnya bagaiamana nasib masa depan rakyat ibu kota negara? Pertanyaan ini perlu dihadirkan di tengah situasi sosial masyarakat Jakarta yang tergusur dari pentas kesejahteraan di pelbagai relung kehidupannya. Tak perlu lagi kita bertanya nasib sosio-ekopol-nya. Apalagi hak kebudayaannya?
Hilangnya Nalar Bangsa untuk Hidup Bersama
Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri 71 tahun lalu, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya “ketahan dan kedaulatan bangsa.” Selain itu pula, banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Variabel-variabel tersebut di antaranya adalah “marjinalisasi” di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya dan lain-lain.
Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan tapi pasti tergerus oleh penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa atau bahkan lebih parahnya kita sengaja meninggalkannya sendiri (Zonder Ideologi). Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan keotik di bidang sosial politik. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidak-adilan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Ibu Kota dan Republik
Bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritoral jajahan Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.
Persoalannya kemudian mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi mei? Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena:
Pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya.