Jakarta, Klikanggaran.com (16-12-2018) - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap kasus suap Johanes Budisutrino Soekoco telah ditetapkan. Putusan telah dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Lucas Prakoso, pada hari Kamis (13/12/2018).
Yohanes Koco divonis hanya 2 tahun 8 bulan penjara, ditambah denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan. Putusan atas kasus suap itu diambil berdasarkan tuntutan awalnya yang hanya 4 tahun oleh tim Jaksa KPK.
Vonis atas kasus suap PLTU Riau 1 ini dinilai sangat ringan dan mengusik rasa keadilan publik. Bahkan, lebih jauh Majelis Hakim langsung memerintahkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK untuk mengajukan pembukaan blokir terhadap 4 rekening Johanes Kotjo di BCA.
Kasus Suap PLTU Riau 1 Vonisnya Sangat Ringan
Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, menilai bahwa hal ini tentu luar biasa. Sebagai pertanda bahwa dalam kasus ini jauh dari jeratan terhadap korupsi oleh korporasi. Atau, bisa jadi Majelis Hakim ingin mengirim pesan ke publik. Bahwa dakwaan KPK sangat lemah, atau ada intervensi elite kekuasaan yang sangat kuat terhadap kasus ini.
Sehingga bisa menjadi tercatat sebagai vonis paling ringan pada tahun 2018 di Pengadilan Tipikor Jakarta. Untuk sebuah kasus yang menyangkut hajat hidup orang banyak, lazimnya kasus seperti ini bisa kena hukuman paling rendah 8 tahun.
Yusri menilai, vonis di atas telah menjungkir balikkan persepsi publik. Pada awal OTT terungkap yang melibatkan elite-elite politik papan atas, diharapkan bisa membuka kotak pandora bau anyir kongkalikong dalam proyek pembangkit 35.000 MW itu.
“Lihatlah sebagai contoh pembanding adalah kasus suap hanya Rp 100 juta terhadap mantan Ketua DPD Irman Gusman. Dia telah divonis 4,5 tahun dari tuntutan 7 tahun. Demikian juga dengan kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK,” tutur Yusri pada Klikanggaran.com, Minggu (16/12).
“Padahal, kasus suap Rp 4,5 miliar yang dilakukan Johanes Koco kepada mantan anggota DPR Komisi VII Eni Maulani Saragih telah melibatkan beberapa petinggi partai Golkar dan pihak lainnya,” lanjutnya.
“Di antaranya mantan Sekretaris Jenderal Partai, Idrus Markam, yang sudah menjadi terdakwa. Dan, diduga melibatkan mantan Ketua Umumnya, Setya Novanto,” tambah Yusri.
Dari fakta persidangan terungkap. Bahwa suap yang diterima dari Johanes Koco sempat sebagian digunakan oleh panitia musyawarah luar biasa Partai Golkar pada bulan Desember 2017. Yang berhasil mendapuk Ir Airlangga Hartato sebagai ketua umum.
Uang itu sudah dikembalikan secara resmi oleh Wakil Sekjen Partai Golkar ke KPK sebesar Rp 700 juta. Meskipun demikian, pengembalian itu menurut Yusri tentu tidaklah bisa menghilangkan pidananya.
Fakta Kasus Suap PLTU Riau 1
Adapun suap itu awalnya diketahui dari kesaksian Eni Saragih sejak diperiksa di KPK. Juga keterangan di bawah sumpah di depan majelis hakim. Tujuannya adalah untuk memuluskan keinginan Johanes Koco sebagai sohib Setya Novanto. Agar perusahan Blackgold Natural Resources Ltd dan China Huandian Engineering Co Ltd (CHEC) bisa mendapat proyek pembangkit listrik di PLN.
Awalnya yang diprospek adalah PLTGU Jawa 3, namun karena sudah ada jagoannya kata Dirut PLN, kemudian dialihkan ke PLTU Riau 1. Faktanya, keinginan itu berhasil diperoleh mendapat PLTU Riau 1. Setelah adanya pertemuan antara Eni Saragih bersama Johanes Koco maupun sendiri-sendiri.
Menurut Yusri, setidaknya telah terjadi 9 kali pertemuan dengan Dirut PLN Sofyan Basyir. Juga Direktur Pengadaan Strategis 2, Supangkat Iwan Santoso, yang membawahi Divisi IPP (Independent Power Producer). Dan, Nicke Widyawati, Direktur Perencanaan Strategis 1, yang membawahi Divisi RUPTL PLN.
“Namun anehnya, keterangan Johanes Koco dan Sofyan Basyir di persidangan berbeda dengan keterangan Eni Saragih,” kata Yusri.
Johanes Koco menyatakan pemberian uang itu bukan untuk memperoleh kontrak pembangkit di mulut tambang dari PLN. Tetapi, hanya untuk membantu suami Eni Saragih dalam pilkada calon Bupati Temanggung.
Begitu juga keterangan Sofyan Basyir, bahwa dia tidak pernah menerima suap atau janji-janji komisi dari Johanes Koco. Kemudian Johanes Koco dengan Blackgold Natural Resources Ltd berhasil menjadi Patner PT.PJB dan PT.PLNB.
Keduanya merupakan anak usaha PT PLN. Adalah merupakan proses bisnis biasa dan diproses tanpa melalui proses tender. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Mulut Tambang.
Atas dasar aturan di atas, kemudian PLN telah menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 0336 tahun 2017 tentang Pembatasan Penunjukan Langsung Khusus Anak Perusahaan saja. Sementara untuk pemilihan mitra anak usahanya tidak dijelaskan mekanismenya seperti apa.
Sebaliknya Eni Saragih mengakui bahwa dalam pertemuan dengan Sofyan Basyir sudah sepakat. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan menerima komisi dengan bagian yang sama.
Antiklimaks Pemberantasan Korupsi
Sehingga ketika masing-masing pihak memberikan keterangan yang berbeda-beda di persidangan, itu adalah hal aneh menurut Yusri. Lebih aneh lagi adalah, sudah lebih dari 5 bulan sejak OTT Eni Saragih, pihak KPK belum berhasil menjerat keterlibatan salah satu pun Direksi dari PLN.
“Seandainya, sampai ujung vonis Idrus Markam dan Eni Saragih, KPK tetap tidak bisa membuktikan adanya keterlibatan satu pun Direksi PLN dalam kasus suap PLTU Riau 1. Maka akan menjadi benar beberapa tulisan saya terdahulu,” ujar Yusri.
“Bahwa modus kasus suap korupsi PLTU Riau 1 telah bisa dikendalikan oleh Eni Saragih dan Idrus Markam. Serta diduga diotaki Setnov dengan menggunakan metode "telepati",” lanjut Yusri.
Artinya menurut Yusri, tanpa ada pembicaraan soal PLTU Riau 1 dengan tekanan dan janji hadiah apa pun. Ternyata keinginan Johanes Koco dengan konsorsiumnya memperoleh kontrak pembangkit listrik di PLN sudah dapat dipenuhi oleh Direksi PLN.
Padahal, soal kebijakan Direksi PLN menunjuk anak perusahaannya sebagai pelaksana IPP PLTU Riau 1 sangat dibenarkan. Akan tetapi, memilih patner anak usaha PLN tanpa proses tender atau "beauty contes" adalah pelanggaran hukum terhadap proses bisnis korporasi di BUMN.
“Oleh karena itu, tak lama berselang setelah vonis di atas, media koran Tempo menempatkan berita pada halaman depan penuh. Bahwa KPK akan menyasar Direksi PLN. Itu menurut saya adalah jauh api dari panggangnya. Karena vonis ini adalah indikasi antiklimaks itu,” tutup Yusri Usman.
Baca Juga : Idrus Marham Diduga Terlibat dalam Kasus Suap PLTU Riau 1?