Potensi Kerugian Negara Miliaran, Dirut PT DI Belum Diperiksa

photo author
- Senin, 3 Oktober 2016 | 02:55 WIB
images_berita_Sep16_1-TIM-DI
images_berita_Sep16_1-TIM-DI

Jakarta, Klikanggaran.com - Center for Budget Analysis (CBA) meminta kepada DPR untuk mengevaluasi dan merekomendasikan agar Direktur PT. DI, Budi Santoso, mengundurkan diri. Alasan pengunduran diri yang diminta oleh CBA ini agar aparat hukum dapat dengan leluasa menyelidiki ditemukannya potensi kerugian negara di PT. DI (Dirgantara Indonesia) sebesar Rp 8 miliar dengan 24 kasus.

“Kalau aparat hukum tidak membuka penyelidikan atas banyak kasus, maka PT. DI menuju arah kebangkrutan,” kata Uchok Sky Khadafi, Direktur CBA, di Jakarta, Senin (3/10/2016).

 

Uchok menjelaskan, selain adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 8 miliar yang dia sampaikan di atas, ada hal lain yang harus diperhatikan oleh perusahaan BUMN plat merah ini yaitu adanya resiko bangkrut. Dan, PT. DI harus melaksanakan kewajibannya membayar denda untuk keterlambatan dalam pekerjaan.

“Pada audit BPK tahun 2015 ditemukan denda keterlambatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di TNI AL (Angkatan Laut). Tetapi, oleh angkatan laut, denda yang harus dibayar oleh PT. DI hanya sebesar Rp. 3.357.999.942,” lanjut Uchok.

Tanda-tanda yang menurut Uchok mengarah pada kebangkrutan tersebut misalnya, kasus yang terjadi pada tahun 2011, dimana TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell.412EF tahap II dengan nilai Rp. 220.000.000.000 oleh PT. DI. Dalam pekerjaan ini, PT. DI sudah dibayar sebesar Rp. 212.415.954.199 atau 96 persen. Tetapi, seperti dijelaskan oleh Uchok, pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20 persen.

“Uangnya negara mereka terima dan embat, tapi seperti males-malesan menyelesaikan pekerjaan tersebut,” celetuknya.

Kemudian kasus baru yang dipermasalahkan oleh Uchok yaitu, saat TNI AU memesan Helikopter Super Puma untuk memenuhi rencana strategis (renstra) pertahanan tahun 2009-2014. Tapi, realisasi saat itu, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan.

Permasalahan yang mengikuti pengiriman pesanan Helikopter Super Puma TNI AU yang hanya 9 dari 16 unit yang dipesan tersebut adalah, pengiriman tidak tepat waktu, sehingga mengganggu proses operasional. Sedangkan sisa 7 unit lagi, dibiarkan saja oleh TNI AU.

“Suka-suka PT. DI yang tidak tahu malu benar, sudah merugikan Angkatan Laut,” kata Uchok dengan kesal.

Kekesalan Uchok semakin tak dapat dia sembunyikan saat menjelaskan kasus-kasus di atas, karena dari situ sangat jelas terlihat manajemen PT. DI yang kacau balau, atau amburadul. Menurutnya PT. DI bukan lagi perusahaan plat merah yang dipersiapkan sebagai perusahaan yang unggul dalam menyediakan alat-alat pertahanan, tapi sudah menjadi perusahaan plat merah yang mengecewakan dalam industri penerbangan.

Untuk diketahui, awalnya PT. DI (Dirgantara Indonesia) (persero) didirikan dengan nama PT. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Pergantian nama dari PT. IPTN menjadi PT. DI dilakukan berdasarkan akte yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Hj. Imas Tarwiah Soedrajat, S.H. Nomor 26 tanggal 9 Oktober 2000.

Dengan perubahaan nama perusahaan dari PT. IPTN menjadi PT. DI, diharapkan perusahaan plat merah ini mempunyai kinerja yang baik dan daya saing tinggi di publik.

“Harapan itu hanya mimpi, kinerja juga sangat lambat dan mengecewakan,” tandas Uchok.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X