Mengapa Berkas Korupsi Kondensat 35 T Belum Dilimpahkan oleh Mabes Polri ke Kejaksaan Agung?

photo author
- Minggu, 14 Januari 2018 | 07:15 WIB
images_berita_2018_Jan_kejagung
images_berita_2018_Jan_kejagung

Jakarta, Klikanggaran.com (14-01-2018) - Terkait informasi resmi terbaru dari otoritas Singapura, yaitu Kementerian Luar Negeri, yang diunggah di akun facebook hari Sabtu 13 Januari 2018  (vide link Viva .co.id) tentang keberadaan Honggo Wedratmo sebagai tersangka kasus korupsi kondesat yang ternyata tidak berada di Singapore, telah membuka tabir baru.

Dengan prihatin, Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengatakan bahwa Mabes Polri terkesan telah gagal memantau keberadaan tersangka selama ini. Padahal selama ini selalu diinformasikan ke publik bahwa Honggo sedang menjalani perawatan kesehatannya.

Menurut Yusri, tentu hal ini bisa dianggap sebagai antiklimaks dari upaya Mabes Polri dalam membongkar kasus yang sangat fantastis di sektor migas tersebut.

"Awalnya publik telah memberikan apresiasi yang luar biasa kepada kinerja Budi Wiseso sebagai Kabareskrim pada Mei 2015 yang berhasil mengungkap kasus mega korupsi ini. Menurut sumber yang sangat layak dipercaya, berkas ini sudah lama juga mengendap di KPK di era Abraham Samad," tutur Yusri pada Klikanggaran.com di Jakarta, Minggu (14/01/2018).

Hal lain yang disesalkan Yusri Usman adalah, sementara ini publik disajikan informasi bahwa keberadaan Honggo selama ini mengakibatkan beberapa kali tertundanya pelimpahan berkas perkara yang sudah P 21 dari Mabes Polri ke Kejaksaan Agung. Padahal menurutnya, pada 8 Januari 2018 seharusnya sudah tuntas, setelah tertunda 2,5 tahun.

"Saya dengan tegas menyesalkan tertundanya pelimpahan berkas kasus korupsi Kondensat di BP Migas dengan nilai kerugian Rp 35 triliun dari Mabes Polri kepada Kejagung. Setelah berkas perkara tersebut sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 3 Januari 2017," sesal Yusri.

Menurutnya akan menjadi aneh kalau alasan Mabes Polri menunda pelimpahan berkas perkara hanya karena menunggu kehadiran saudara Honggo Wedratmo. Padahal berkas perkaranya dipisah dengan Raden Priyono dan Djoko Harsono.

"Seharusnya segera saja Mabes Polri menyerahkan berkas perkara dengan tersangka yang sudah ada. Bahkan, ketidakhadiran Honggo Wederatma jangan dijadikan alasan untuk menunda penyerahannya. Toh, berkas Honggo bisa juga disidangkan dengan "in absentia" yang akan jadi pertimbangan majelis hakim memberatkan hukuman maksimal," tutur Yusri.

"Agar publik tidak mencurigai ada dugaan mengaburkan masalah kasus korupsi ini, sebaiknya Mabes Polri segera saja menyerahkan berkas kasus korupsi dengan tersangka yang ada, agar segera disidangkan. Mudah-mudahan dari fakta persidangan akan terungkap calon tersangka baru, karena nilai kerugian negaranya sangat fantastis, 10 kali lebih besar dari kasus e-KTP," lanjut Yusri.

Sekedar informasi dari Pengamat Migas, bahwa kasus korupsi kondensat ini berawal dari "persetujuan" untuk memberikan kondensat jatah bagian negara kepada kilang TPPI tanpa melalui proses tender sebagaimana ditentukan oleh surat keputusan Kepala BP Migas nomor : KPTE - 20 / BP00000/2003- SO tertanggal 15 April 2003 tentang "Tata Cara Penunjukan Penjual Minyak Mentah / Kondensat Bagian Negara Melalui Lelang Terbatas". Yang menurut Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan saat itu, berdasarkan hasil rapat pada tanggal 21 Mei 2008 yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, adalah upaya penyelamatan TPPI yang kondisi keuangannya sangat buruk.

Adapun kebijakan tersebut, salah satu syaratnya, hasil olahan kondensat oleh TPPI untuk menyuplai kebutuhan minyak Premium Ron 88 Pertamina sebagai bagian PSO (public service obligation).

"Akan tetapi anehnya, dalam perjalanannya muncul syarat lain yang membuka pintu persoalan kondensat menjadi sengkarut kerugian negara mencapai 35 triliun. Yaitu dibukanya opsi kepada TPPI, boleh menjual produk olahan kondensat ke pihak lainnya, termasuk ekspor apabila Pertamina tidak membeli sebahagian atau seluruh produk kondensat dari kilang TPPI," kata Yusri.

Berdasarkan uraian di atas, Yusri menegaskan, menjadi tugas Majelis Hakim dan Penyidik dari fakta persidangan untuk mengungkap lebih luas kasus ini. Termasuk irisannya, terhadap alasan penolakan Pertamina membeli produk Premium kilang TPPI, karena dalam irisan waktunya di Pertamina di bawah Arie Soemarno,  muncul kasus import minyak haram "Zatapi" oleh perusahaan diduga milik Moch Reza Khalid dan import minyak "Sarir Libya" berdasarkan adanya temuan oleh audit BPKRI saat itu.

 "Termasuk dibentuknya pansus BBM oleh DPR komisi VII di bawah korodinator  Dahlan Nizar atas kerugian yang dialami Pertamina akibat kelebihan pasokan import BBM. Sehingga harus menyewa beberapa tangker untuk menampung kelebihan pasokan dan adanya dugaan pembayaran konsultan yang dianggap berlebihan di awal pembetukan ISC Pertamina pada 28 September 2008 oleh Arie Soemarno," tutup Yusri Usman.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Rekomendasi

Terkini

X