komunitas

Habislah Sudah Masa yang Suram, Selesai Sudah Pmii Jadi Penonton

Senin, 19 April 2021 | 13:34 WIB
bendera pmii


Opini dari M. Hanif Dhakiri, Sekretaris Jenderal, Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni PMII (PB IKA-PMII)





Enam puluh satu tahun sudah PMII hadir dan berkiprah. Zaman dan pemimpin berganti. Tapi PMII tetaplah Islam, tetaplah Indonesia. Dua tarikan ideologis dalam satu nafas pergerakan. Menghidupi Islam di tanah Nusantara, sekaligus menghidupi negara-bangsa yang majemuk.


Di hari bersejarah 17 April 2021 ini, warga pergerakan patut bersyukur. Bahwa sampai hari ini dan hingga kapan pun, kita adalah warga pergerakan. Bagian dari rakyat Indonesia yang dengan sadar memberikan hati, jiwa dan pikirannya untuk Islam yang benar dan bangsa yang jaya, NKRI yang berdasar Pancasila.


Sebagai warga pergerakan, kita patut bersyukur karena dua alasan. Pertama, bersyukur karena kita benar. Benar dalam beragama dan benar dalam bernegara. Kedua, bersyukur karena kita pewaris sah republik ini. Karena itu, kita memiliki hak sejarah untuk ikut serta mengatur NKRI.


Kita benar dalam beragama dan bernegara karena kita, warga pergerakan, adalah anak kandung Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai anak kandung NU, beragama kita adalah beragama ala NU. Bernegara kita juga ala NU. Keduanya benar adanya. Itu yang wajib kita yakini dan sadari dalam seluruh gerak keislaman dan kebangsaan. Nahnu ashabul haq. Kita adalah pemilik kebenaran.


*


Kita benar dalam beragama karena PMII mewarisi tradisi keagamaan (amaliyah), pemikiran (fikrah) dan gerakan (harakah) NU. Tradisi, pemikiran dan gerakan itu disandarkan pada akidah Aswaja (Ahlussunnah Waljama'ah) yang moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), toleran (tasamuh) dan adil (i’tidal).


Ideologi Aswaja menempatkan PMII dalam tradisi berpikir wasathiyah  (moderat), suatu konstruksi pemikiran yang merupakan sebaik-baik perkara, selaras dengan hadits Nabi SAW: ‘Khoirul umuri awsathuha’ (Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengahnya).


Konstruksi pemikiran Islam moderat itu benar. Bukan saja karena intisari ajaran Islam adalah wasathiyah baik dalam ibadah, perilaku sosial, perilaku ekonomi maupun sebagai komunitas. Lebih dari itu, konstruksi pemikiran Islam moderat itu juga benar karena selaras dengan konteks negara-bangsa Indonesia.


Indonesia merupakan negara-bangsa yang diberkahi Allah SWT dengan segala sesuatu yang berada di tengah-tengah. Lihatlah, Indonesia dikaruniai dua musim: kemarau dan hujan. Saat kemarau, yang notabene adalah panas, tapi tidak terlalu panas. Saat hujan, yang nota bene adalah dingin, tapi tidak terlalu dingin. Panas tidak terlalu panas, dingin tidak terlalu dingin. Di tengah-tengah.


Saat puasa Ramadlan seperti sekarang ini, kita berpuasa juga dikarunia durasi yang tengah-tengah. Di tempat lain ada yang puasanya 8-9 jam, bahkan kurang dari itu. Ini terlalu pendek. Ada juga negara-negara yang puasanya hingga 18 jam alias terlalu panjang. Kita di Indonesia berpuasa dari waktu Imsak hingga Maghrib sekira 12-13 jam. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Di tengah-tengah, sedang-sedang saja.


Cara berpikir yang tengah-tengah itu bukan saja tipikal tradisi berpikir Ahlussunnah Waljama'ah An-Nahdliyah. Tapi sekaligus cermin rasa syukur kita atas berkah Indonesia yang juga serba di tengah-tengah. Secara sosiologis, dengan demikian, ektremitas bukan saja ditolak, tapi tertolak di negeri ini. Pun secara ideologis, ektremitas tertolak dan tidak dikehendaki Islam.


Dus, kita benar dalam beragama.

Halaman:

Tags

Terkini