kebijakan

Listrik? Rawan Korupsi, Lho

Kamis, 31 Oktober 2019 | 07:29 WIB
Perusahaan Listrik


JAKARTA, klikanggaran.com - Sektor kelistrikan rawan terjadi tindak pidana korupsi. Pernyataan tersebut merupakan penilaian masyarakat Transparency International Indonesia (TII).


Sebagaimana diberitakan, empat orang terjerat kasus kerja sama proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1. Kasus ini sendiri masih dalam pengusutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Keempat orang tersebut adalah mantan anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih; pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Johanes Budisutrisno Kotjo; mantan Sekjen Golkar Idrus Marham; dan mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir.


KPK juga sudah menangani kasus mantan anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo terkait suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua di tahun 2016.


Dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019), Sekjen TII, Dadang Trisasongko, mengatakan bahwa kerentanan korupsi dalam proyek pembangkit listrik nasional yang terefleksikan dari kasus di atas seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi di sektor kelistrikan.


TII telah melakukan kajian "Transparency in Corporate Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL)" untuk menilai kesiapan perusahaan di sektor kelistrikan Indonesia dalam mencegah korupsi.


Dalam kajian itu, sebanyak 95 perusahaan termasuk perusahaan yang menjadi sponsor dalam konsorsium, perusahaan patungan, dan kontraktor proyek pembangkit listrik, yang mengerjakan sekitar 20.189 MW (58%) dari mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW.


Hasil kajian menyatakan bahwa Skor Transparency in Corporate Reporting (TRAC) dari Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) adalah 1.9/10. 


“Skor tersebut menandakan perusahaan berisiko tersangkut korupsi karena tidak memiliki program anti korupsi yang memadai,” kata Dadang,


Transparansi struktur grup perusahaan dan pelaporan informasi keuangan antarnegara juga sangat tidak transparan. Transparansi program antikorupsi PPL tercatat hanya memiliki rerata skor sebesar 22% atau hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program antikorupsi yang memadai. 


Program Officer TII Ferdian Yazid menambahkan bahwa hanya 20 dari 95 perusahaan yang memiliki komitmen antikorupsi; 17 dari 95 perusahaan yang melarang pemberian donasi politik; 16 dari 95 perusahaan yang mewajibkan perantara (intermediaries) untuk mematuhi kebijakan antikorupsi perusahaan; dan 11 dari 95 perusahaan yang mewajibkan rekanan/vendor untuk mematuhi kebijakan antikorupsi perusahaan.


Selain iti, risiko tersandung tindak pidana korupsi dalam relasi antar pebisnis juga cukup besar karena 51 dari 95 perusahaan yang diteliti sama sekali tidak memiliki kebijakan anti korupsi perusahaan seperti larangan suap, gratifikasi, uang pelicin, dan donasi politik. 


"Tiadanya kebijakan antikorupsi perusahaan menyebabkan tidak ada batasan antara tindakan yang dilarang bagi karyawan atau direksi perusahaan dan yang diperbolehkan, termasuk korupsi" ujar Ferdian Yazid.


Kajian TII juga menganalisis rerata program antikorupsi berdasarkan asal negara perusahaan menunjukkan hal yang menarik. 

Halaman:

Tags

Terkini