kebijakan

Pengamat: BPK Tidak Punya Kewenangan Audit Perkebunan Sawit Milik Swasta

Kamis, 29 Agustus 2019 | 10:00 WIB
images (20)


Jakarta, Klilanggaran.com (29-08-2019) - Akademisi Univeristas Pelita Harapan, Ronny Bako, mengungkapkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak punya kewenangan untuk memeriksa (Audit) perkebunan sawit besar milik swasta yang tidak menggunakan keuangan negara seperti Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/D). Kewenangan BPK dibatasi pada organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.


“Bahkan jika ada indikasi pelanggaran pada lembaga atau badan, audit hanya dilakukan penyalahgunaan keuangan negara saja. BPK tidak punya kewenangan untuk memeriksa urusan yang tidak terkait dengan pengunaan keuangan negara,” ujar Ronny pada Klikanggaran.com, Kamis (29/8/2019).


BPK, kata Ronny, juga wajib memiliki standar perusahaan perkebunan yang baik ketika memberikan penilaian. Standar itu diperlukan agar hasil pemeriksaan BPK bisa memberikan keyakinan yang memadai.


“Pertanyaannya, apakah BPK punya kewenangan untuk memeriksa perkebunan sawit yang tidak menggunakan keuangan negara? Pertanyaan lain, standar mana yang dipergunakan BPK saat menilai 81% perkebunan sawit menghadapi masalah dengan pengelolaannya? Masalah itu harus dipertanyakan,” kata Ronny.


Rony juga menilai perlunya semangat integrasi antar kementerian/lembaga (K/L) yang tertuang pada rancangan kebijakan RUU Pertanahan. Agar bisa menuju kebijakan satu peta (one map policy) melalui single land registration system.


"Polemik berkepanjangan Kementerian ATR/BPN dan KLHK terkait beda pemahaman antara tanah dan hutan perlu diakhiri karena memicu konflik yang hingga kini tidak pernah usai dan perkebunan rakyat selalu menjadi korban,” jelasnya.


Pemerintah perlu berpikir dan bertindak strategis agar berbagai regulasi terkait sawit bisa segera diharmonisasi dan tidak terus terbebani dengan berbagai konflik.


“Sayangnya, apapun masalah terkait sawit, selalu dikaitkan dengan konflik. Padahal, sawit merupakan komoditas penting yang bisa menopang kinerja pemerintah,“ ujarnya.


Dia mencontohkan, sebagian perkebunan sawit rakyat di Sumatera Utara yang ada sejak ratusan tahun lalu, ada di kawasan hutan. Kebun-kebun itu kini dianggap melanggar.


“Persoalan-persoalan untuk menilai satu pelanggaran disederhanakan begitu saja dengan menggunakan regulasi satu lembaga tertentu, tanpa melihat persoalan di belakang. Apalagi jika regulasi itu datang belakangan,” kata Ronny.


Rony juga menilai, kebijakan pemerintah untuk membangun kemitraan dengan masyarakat melalui pembangunan plasma punya tujuan baik. Namun di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan kendala dan permasalahan dalam implementasinya karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya.


Hal ini karena pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten serta mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas.


”Perhitungan kewajiban plasma 20% masih belum jelas, apakah berdasarkan IUP atau HGU atau areal tertanam," tegas Ronny.


Pernyataan senada dikemukakan pengamat hukum kehutanan dan lingkungan, DR Sadino. Sadino juga meragukan pendapat BPK yang menyebutkan tata kelola sawit di Indonesia buruk, tanpa mempunyai standar penilaian untuk perusahaan perkebunan.

Halaman:

Tags

Terkini