kebijakan

Pemerintah Dinilai Mundur dalam Mengelola Ketahanan Energi Nasional

Selasa, 8 Januari 2019 | 16:30 WIB
Energi Nasional

Jakarta, Klikanggaran.com (08-01-2019) – Terkait energi nasional, Pemerintah telah merevisi ke 6 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini sebagai implementasi UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Keputusan ini diduga oleh sebagian pihak terlalu memaksakan dan sekadar memenuhi kepentingan segelintir pengusaha pemilik PKP2B.

Bahkan menurut seorang pengamat, Yusri Usman, sikap pemerintah ini bisa jadi akibat tekanan pengusaha PKP2B yang akan berakhir kontraknya. Di antaranya PT Tanito Harum, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT Multi Harapan Utama. Karena PKP2B Generasi 1 akan berakhir kontraknya, masing-masing sejak 2019 sd 2025.

Direktur Eksekutif CERI ini mengatakan, sikap Pemerintah ini jelas terkesan sangat lemah. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah mengganti masa perpanjangan, yang semestinya diajukan paling cepat dua tahun. Dan, paling lambat enam bulan sebelum kontrak berakhir. Tapi, justru diubah menjadi paling cepat lima tahun.

Energi Nasional


“Ada indikasi agar semua kontrak PKP2B Generasi 1 dapat diperpanjang selama Pemerintahan Jokowi. Ironisnya, PKP2B Generasi 1 yang habis masa kontraknya seharusnya dapat diambil alih untuk memperkuat BUMN. Khususnya dalam menjalankan ketahanan energi yang jelas-jelas menjadi masalah besar bangsa ini ke depan,” tutur Yusri Usman pada Klikanggaran.com, Selasa (08/01/2019).

Yusri mengatakan, sangat tidak salah jika publik menduga langkah pemerintah ini dibuat seperti kerja operasi "intelijen". Karena menurutnya, hampir proses yang ada diupayakan tidak muncul ke ruang publik. Bahkan, harmonisasi dengan stake-holders, asosiasi, universitas, dan pemerintah daerah, di mana wilayah pertambangan berada, tidak dilakukan sama sekali.

“Begitu mengejutkan, pada November 2018 ESDM menyampaikan bahwa revisi PP sudah pada tahapan harmonisasi di Kemenkumham. Publik mencurigai langkah ESDM ini terkait kebutuhan akan dana-dana politik untuk pesta politik 2019. Di mana dana dapat bergulir cepat di saat beleid disetujui,” sesal Yusri.

Pemprov dan BUMN


Pihak pemerintah propinsi dan BUMN menurut Yusri semestinya berteriak akan langkah pemerintah ini. Dengan mengambil alih PKP2B (tanpa dana investasi) dan diupayakan dimasukkan ke Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Maka Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Khusus, dapat diprioritaskan untuk dapat dimiliki BUMN atau BUMD.

Maka kesempatan Pemerintah Propinsi untuk memperbesar BUMD menurutnya menjadi tertutup, begitu pemerintah memperpanjang PKP2B menjadi IUPK. Sangat ironis menurut Yusri, PT. Freeport Indonesia diambil alih dengan dana pinjaman USD 3.8 milyar. Tapi, justru perpanjangan PKP2B yang sekadar diambil alih tanpa dana seperser pun, justru ditolak.

“Rasional siapapun, sulit untuk memahami sikap pemerintah ini. Apalagi kepemilikan pengusahaan bisnis batubara terkait dengan energi atau kepentingan membangun ketahanan energi ke depan,” katanya.

Bahkan Kabiro Hukum KESDM, Hufron Asrofi, dikutip media Kontan (7/1/2019), telah mempertegas. Bahwa Menteri ESDM Jonan sudah paraf dan tinggal menunggu paraf Menteri Keuangan serta insyaAllah pekan ini selesai. Setelah masuk ke Sekretariat Negara segeralah ditandatangani oleh Presiden dalam minggu ini.

Ketahanan Energi Jangka Panjang


Di sisi lain adanya perspektif ketahanan energi nasional jangka panjang dan kepentingan penerimaan negara yang lebih lebih besar. Menurut Yusri seharusnya PKP2B Generasi 1 yang akan berakhir kontraknya harus dikembalikan ke BUMN Tambang PT Bukit Asam untuk mengelolannya. Karena ada potensi total produksi sekitar 200 juta metrik ton per tahun, dengan asumsi pesimis laba diperoleh permetrik ton USD 10. Hal ini menurut Yusri akan ada tambahan keuntungan BUMN tambang USD 2 miliar setiap tahun di luar royalti dan pajak.

“Bahkan, pemerintah mendapatkan gratis semua wilayah PKP2B Generasi 1 ini. Mengingat semua fasilitas produksinya selama dibangun tidak dibebani bea masuk. Dan, menjadi Barang Milik Negara (BMN). Skema pengelolaan PKP2B generasi ke satu ini hampir sama dengan skema "cost recovery" kalau di sektor migas,” tutur Yusri.

“Amat menyedihkan bangsa ini dalam menangkap peluang emas untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Sementara di sisi lain, pemerintah sibuk menugaskan PT Inalum untuk mendapatkan USD 4 miliar dari menjual global bond. Tujuannya untuk membeli PI Rio Tinto dan PT Indocooper Investama agar mencapai divestasi 51%,” kata Yusri.

Langkah Susah Dipahami


“Oleh pihak asing dianggap sebagai langkah yang teramat bodoh dan susah dipahami akal sehat sebagai bangsa yang berdaulat. Disebabkan belum dibukanya ke publik status PI Rio Tinto di dalam PT Freeport Indonesia. Apakah di blok A atau B terkait surat Mentamben IB Sujana tahun 1995, 1996, dan surat Menkeu Marie Muhammad 29 April 1996. Ditambah, potensi kerusakan lingkungan yang sudah teramat parah selama hampir 45 tahun karena limbah tambang yang tidak dikelola dengan benar,” lanjutnya.

Tercatat, PKP2B Generasi 1 pada awalnya merupakan wilayah kerja PT Bukit Asam (PTBA). Kemudian dikontrakkan kepada beberapa pengusaha dengan skema Production sharing Contract di tahun 1993. Dan, berdasarkan KEPPRES No 75 Tahun 1996 dan Kepmemtamben No 680.K/29/M.PE/1997 sesuai pasal 3 ayat 1. Dinyatakan bahwa “semua hak PTBA di dalam PKP2B dialihkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi.

Proses perpanjangan PKP2B menjadi IUPK ini menurut Yusri jelas melenceng dari UU Minerba No.4/2009. Dan, sekaligus mempersempit ruang pemerintah propinsi untuk memperkuat BUMN atau BUMD. Atas hal ini, jelas proses ini menurutnya harus dihentikan.

“Presiden sebagai Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) sadar akan arah ketahanan energi nasional yang akan dibangun. Bahkan dengan tegas beberapa kali mengatakan agar batubara jangan dijual sebagai komoditi mentah. Jelas revisi PP ini justru justru memukul balik kebijakan Presiden sendiri. Bisa jadi, Presiden tanpa tahu detail dan terjebak oleh pembantunya sendiri. Atau, Presiden sebagai Ketua DEN sekadar melihat kepentingan Pilpres semata?” tutup Yusri.

Baca juga : Lubang Tambang Batubara Bukan Hanya Keruk Batubara

Tags

Terkini