kebijakan

Rencana Perubahan ke 6 PP Minerba Diduga Kental Kepentingan Pengusaha dan Segelintir Elite Penguasa?

Kamis, 13 Desember 2018 | 08:30 WIB
Perubahan

Jakarta, Klikanggaran.com (13-12-2018) – Terkait upaya dan rencana Pemerintah melakukan perubahan ke 6 PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang merupakan turunan implementasi UU Minerba No.4/2009, dianggap berpotensi mengancam ketahanan energi nasional.

Selain tata cara perubahan ke 6 PP yang dianggap aneh dan janggal, prosesnya pun diduga tidak mengikuti kaidah yang benar. Seperti yang dimaksud UU No.12/2011 tentang hirarkis perundang-undangan. Seharusnya proses harmonisasi yang dilakukan KESDM ke berbagai kementerian tidak dilakukan secara diam-diam.

Hal tersebut disampaikan oleh Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), sekaligus salah satu pengamat migas Indonesia, pada Klikanggaran.com di Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Menurut Yusri, seharusnya konsep rencana perubahanan ke 6 PP disosialisasikan terlebih dahulu oleh KESDM kepada publik. Dari masyarakat pertambangan dan perguruan tinggi, minimal dapat diperoleh masukan yang positif.

Dengan berbagai stake-holders dilibatkan, dipastikan perubahan PP jauh lebih mendalam dan bernilai, khususnya manfaat bagi kepentingan nasional. Dan, bukan sekadar dibuat hanya sebatas untuk kepentingan segelintir pemilik PKP2B.

Pasalnya, sejak diberlakukan UU Minerba No. 4/2009 awal Januari 2009, pemilik KK dan PKP2 B sudah diberikan ruang yang cukup baik dan fair oleh pembuat UU, lewat ketentuan peralihan (pasal 169 s/d pasal 172) yang memberikan kesempatan 1 tahun kepada semua pemilik KK dan PKP2B untuk menyesuaikan semua ketentuan dengan isi pokok UU Minerba, kecuali soal penerimaan negara. Namun, kesempatan itu dengan arogannya diabaikan oleh semua pemilik KK dan PKP2B.

Meskipun begitu, Pemerintah tetap menghormati jangka waktu berakhirnya kontrak KK dan PKP2B. Keseriusan ini dapat dinilai mengingat di 2014 baru satu pemilik KK 4 yang mengandemen kontraknya. Selebihnya baru dapat diselesaikan pada 2015 dan 2016.

“Ini jelas mencerminkan atau membuktikan, negara justru kalah atau bahkan diatur oleh sebagian pemilik KK dan PKP2B,” kata Yusri.

“Atas situasi industri pertambangan seperti ini, terkesan sangat kental, seolah semua sumber daya alam yang dimiliki negara dan berada di dalam perut bumi nusantara, seolah menjadi dikuasai oleh pemilik KK dan PKP2B. Menjadi ironis, Pemerintah terkesan menjadi wajib untuk memperpanjangnya dalam bentuk IUPK. Meskipun beberapa poin yang KK/PKP2B menuntut sangat bertentangan dengan UU,” lanjutnya.

Yusri mempunyai pandangan, menjadi tidak mengherankan publik bersikap curiga, jika Pemerintah secara diam-diam berupaya merubah PP 23 /2010. Menurutnya, bisa jadi ini hanya dibuat untuk mengakomodir kepentingan segelintir kecil pengusaha dibandingkan kepentingan nasional yang jauh lebih besar, khususnya bagi kepentingan ketahanan energi nasional.

“Juga tidak salah jika publik mencurigai, kebijakan rencana perubahan PP kental untuk kepentingan pemburu rente elite pengusaha dan penguasa,” ujar Yusri.

Yusri mengatakan, ada sekitar 9 (sembilan) PKP2B generasi pertama dengan total produksi keseluruhan sekitar 200 juta metrik ton per tahun yang akan menikmati manisnya perubahan PP tersebut. Sebut saja PT Tanito Harum (35.757 Ha), PT Arutmin Indonesia (70.153 Ha), PT Kaltim Prima Coal (90.938 Ha), PT Adaro Indonesia (34.940 Ha), PT Kideco Jaya Agung (50.921 Ha), PT Berau Coal (118.400 Ha), dan PT Multi Harapan Utama ( 46.063 ha).

Dengan asumsi, mereka menikmati rata-rata laba bersih USD 10 per metrik ton batubara, keuntungan yang mereka peroleh sekitar USD 2 miliar setiap tahunnya. Dapat dibandingkan, jika KESDM saat ini berbangga hati bisa mencapai target PNBP Minerba sebesar Rp 43 triliun, pada dasarnya secara riil sangatlah kecil dibandingkan dengan sumbangan cukai rokok yang mampu menyumbangkan sekitar Rp 150 triliun setiap tahunnya.

Menurut hemat Yusri, semestinya evaluasi perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, KESDM lebih meletakkan pada kepentingan yang vital dan strategis, yaitu ketahahan energi. Mengingat di dalam RUPTL 2017 sd 2026 dalam proyek 35.000 MW sudah ditetapkan porsi energi primer batubara masih menempati sekitar 62% dari bauran energi nasional.

Bahkan, konsep revisi RUPTL 2018 - 2027 yang sedang digodok, porsi batubara meningkat menjadi 68%, meskipun total kapasitas pembangunan pembangkit listrik dikoreksi dari 77.873 MW menjadi 56.025 MW. Koreksi ini dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi yang melambat. Sebaliknya, porsi energi batubara justru meningkat sekitar 6% dari 31,5 % menjadi 37%. Namun, justru porsi gas yang diturunkan dari 31,3% menjadi 25,5%.

“Harus menjadi catatan penting, bahwa cadangan batubara nasional hanya sekitar 2,5% dari total cadangan batubara dunia. Ironisnya, justru selama ini Indonesia sebagai eksportir batubara terbesar dunia. Dari total produksi nasional, di mana 2018 diproyeksikan sebesar 485 juta metric ton, justru sebagian besar atau 75% dari produksi yang ada diekspor. Untuk itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang masih banyak membangun pembangkit listrik tenaga uap berbahan baku batubara, maka kebijakan ekspor secara besar-besaran ini harus dibatasi ketat sesuai kebijakan RUEN yang Presiden sendiri sebagai ketua DEN (Dewan Energi Nasional),” tutur Yusri.

Yusri menekankan, menjadi sangat jelas, bahwa demi kepentingan nasional, maka masyarakat luas harus bersama-sama mendesak Pemerintah untuk membatalkan rencana perubahan PP tersebut. Sebaiknya Pemerintah tetap taat dalam melaksanakan amanah UU Minerba. Kepada PKP2B yang sudah berakhir waktunya, sebaiknya kelanjutan pengelolaannya diserahkan kepada BUMN. Dan, PKP2B tetap diberikan perpanjangan IUPK OP dengan luasan sesuai UU Minerba, yaitu maksimal 15.000 Ha.

“Dengan keputusan ini, kita dapat menilai bahwa Pemerintah dapat dikatakan benar dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang pada notabene dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sikap ini tidaklah salah, industri perminyakan telah memberikan contoh. Yaitu penunjukan Pertamina oleh Pemerintah sebagai operator untuk melanjutkan kerja dari operator yang lama,” tutup Yusri Usman.

 

Penulis : Tim Berita

Baca juga : IRESS: Tolak Rencana Revisi PP Nomor 23 Tahun 2010!

Tags

Terkini