kebijakan

Kenapa Jakarta Macet?

Rabu, 20 April 2016 | 03:52 WIB
images_passengers-1150043_640

KlikAnggaran.com - Kemacetan di daerah ibukota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu.

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibukota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.

Dengan pembebanan yang ada tersebut, jalan merupakan ground transport infrastructure yang sangat vital dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, yakni untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target yang telah ditetapkan antara 6 hingga 8% per tahun, mempercepat terjadinya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengentasan kemiskinan bagi tidak kurang dari 36 juta jiwa yang hidup dengan penghasilan di bawah US $ 2 per hari, menciptakan lapangan kerja langsung (buruh, supplier material, sektor informal, dan sebagainya) dan tidak langsung (pedagang pasar, penambang galian C, pengusaha restoran, pengusaha BBM, dll), memperkuat kesatuan dan persatuan nasional.

Namun, permasalahan kemacetan sangatlah kompleks.

Penyebab Kemacetan

Kemacetan dicirikan, secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.

Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada Gambar 1 berikut :

Peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak, upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Kementerian PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (overloading); dan kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif. Fakta menunjukkan bahwa penataan ruang tidak mampu mengendalikan penumpukan > 60% kegiatan ekonomi nasional di Jabodetabek (pusat kegiatan industri, komersial, pemerintahan, dan jasa keuangan).

Penurunan kondisi jalan dalam banyak hal juga menjadi salah satu penyebab kemacetan yang merupakan dampak dari kemampuan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan yang terbatas, laju perbaikan jalan yang berjalan lebih lambat dari laju kerusakan jalan, pertambahan volume lalu-lintas maupun intensitas beban yang terus meningkat termasuk overloading yang tidak terkendali, dan kualitas hasil penanganan jalan masih belum sesuai dengan rencana/spesifikasi.

Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pembangunan beberapa jalur busway di wilayah ibukota telah meningkatkan 30-40 % dari jumlah titik simpang rawan macet tersebut.

Pada musim hujan, faktor genangan dan banjir menambah tingkat keparahan dari kemacetan. Fakta menunjukkan bahwa kapasitas saluran/kanal yang terbatas tidak mampu menampung curah hujan dengan intensitas yang rendah sekalipun. Apabila ditambah dengan kemampuan mengelola sampah dari Pemerintah Kota yang belum optimal dan budaya masyarakat yang buruk dalam membuang sampah, maka dampak langsung dari luapan air adalah pada badan jalan yang kemudian memicu kemacetan.

Tidak tersedianya moda alternatif mengakibatkan seluruh beban sirkulasi ada pada prasarana jalan, sementara rendahnya ketersediaan angkutan umum menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraaan pribadi. Keberadaan angkutan umum (public transport) di Jabodetabek belum mampu memenuhi kebutuhan pergerakan orang di Jabodetabek. Data menunjukkan bahwa 7 juta orang melakukan pergerakan lalu lintas per hari di Jabodetabek, dimana 3,08 juta di antaranya menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan moda angkutan umum. Sebagai gambaran, busway yang banyak diandalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejauh ini hanya mampu mengangkut 210.000 orang/hari atau sekitar 6% saja dari total orang yang melakukan pergerakan tersebut.

Akhirnya, ketidakpatuhan pengguna jalan dan kelemahan penegakan hukum(traffic management) seperti maraknya pasar tumpah/kaki lima, pemanfaatan badan jalan menjadi lahan parkir dan terminal, angkutan umum merupakan faktor-faktor yang menambah panjang list penyebab kemacetan di Jakarta.

Terkini