Jakarta, Klikanggaran.com (30/8/2017) - Sehubungan dengan maraknya pertanyaan dan penolakan dari berbagai pihak soal adanya tawaran LNG yang katanya "murah" dari perusahaan trader Singapore Keppel Offshore and Marine Ltd kepada PLN, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, mengatakan bahwa seharusnya semua pejabat di sektor energi berpikir dan bersikap "back to basic". Agar publik tidak bingung dengan kebijakan "ziz zaz" yang sering dipertontonkan akhir-akhir ini.
"Ada yang lucu dan aneh dari semua ini. Pada level Menko harus turun tangan dan menerima delegasi selevel perusahaan trader. Seharusnya cukup sekelas anak perusahaan Pertamina seperti, Patra Niaga atau Saka Energi dan Indonesia Power yang menerima delegasi Keppel Offshore ini. Kecuali yang datang itu delegasi perusahaan migas produsen besar. Itu pun cukup level Menteri ESDM dan Dirut Pertamina, Dirut PLN, atau Dirut PGN saja yang menerimanya. Menko hanya menunggu laporannya saja, apa hasilnya baik atau tidak bagi negara. Kasihan kita atas kejadian tanggal 15 Agustus 2017 itu, akan membingungkan semua pihak," tutur Yusri Usman pada Selasa (29/8/2017).
Padahal, lanjut pengamat migas ini, kebijakan Pemerintahan Jokowi-Jk sejak awal dilantik sudah menyatakan akan berhubungan langsung dengan negara produsen. Oleh sebab itulah salah satu alasan saat itu adalah menutup Petral dan memfungsikan fungsi ISC sebagai satu pintu yang berhubungan langsung dengan negara produsen minyak dan gas.
"Bukan dengan calo, kan terbukti ratusan juta dollar penghematannya. Walaupun masih ada beberapa trader yang berhubungan dengan ISC. Seperti Glencore, Travigura, dan Vitol. Tetapi, anehnya belakangan ini kita menyaksikan upaya membuka pintu itu kepada trader-trader. Maka publik akan menilai pemerintah tidak konsisten atas setiap kebijakannya, akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah ini," ujar Yusri.
Yusri menjelaskan bahwa hal tersebut sejalan dengan kebijakan awalnya. Sudah banyak dirintis hubungan G to G oleh Menteri ESDM dan Pertamina ke negara negara Timur Tengah, Afrika Barat, dan Rusia. Tentu tak salah sekarang jika publik akan menagih, apa hasilnya dari banyak uang dan waktu yang sudah dikeluarkan selama ini?
"Ternyata masuknya RI menjadi anggota OPEC terbukti tidak efektif. Katanya untuk mendapatkan akses ke negara produsen minyak sehingga bisa mendapatkan harga minyak yang lebih murah dibanding harga pasar. Oleh karena tidak ada gunanya, lebih baik keluar saja dari OPEC. Karena itu menghambur-hamburkan uang dan ini jelas kebijakan merugikan negara," tegasnya.
Yusri berpendapat, kalaulah kemudian soal harga minyak dan gas kebanyakan lebih mahal Pertamina membeli dari hasil produksi KKKS di lapangan migas dalam negeri daripada dari luar negeri yang letaknya jauh dari kita, maka itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab SKKMigas menjawabnya. Agar di sektor hulu bisa lebih efisien alias tidak ada mark up dari setiap POD lapangan produksi. Dan, menjadi tugas dan tanggung jawab BPH Migas menertibkan trader yang berfasilitas kertas saja.
"Nah, kalau SKKMigas dan BPH Migas tak mampu juga, tentu tak salah kalau publik menilai lembaga itu tak ada gunanya. Ya, dibubarkan saja, ketimbang buang-buang uang negara. Kembalikan saja pada Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 ke fungsi awalnya, UU Nomor 8 Tahun 1971," tutup Yusri Usman.