kebijakan

Salah Kelola, PLN Bisa Jadi Perusahaan Lilin Negara

Rabu, 27 September 2017 | 03:24 WIB
images_berita_Sept17_TIM-Kelola

 

Jakarta, Klikanggaran.com (27/9/2017) - Surat Menteri Keuangan tanggal 19 September 2017 yang ditujukan kepada Menteri ESDM dan Meneg BUMN dinilai oleh Yusri Usman, seorang pengamat Migas, terkesan sebagai "akal bulus" PLN pinjam tangan Menkeu untuk menekan Menteri ESDM. Tujuannya mudah dibaca, agar Menteri ESDM segera mengatur harga energi primer (batubara) untuk pembangkit listrik.

Alasannya, karena sebelumnya Menteri ESDM tidak mau begitu saja mengabulkan usulan PLN untuk menetapkan harga baru batubara. Menteri ESDM malah meminta PLN lebih dulu melakukan efisiensi sebelum membahas harga baru batubara.

Adapun disyaratkan oleh Jonan kepada PLN, agar terlebih dahulu melakukan efisiensi meliputi menekan biaya perawatan pembangkit dan jaringan, menekan overhead yang tidak perlu, dan menekan harga beli energi primer seperti harga batubara, gas, dan diesel.

Hal lain yang menurut Yusri aneh adalah, seharusnya PLN bisa bersinergi dengan Pertamina, dapat menyuplai minyak diesel milik Pertamina, ketimbang beli dari trader. Begitu juga dengan beli gas kebutuhan PLTGU, bisa bersinergi dengan PGN dan Pertagas.

“Kalaupun harganya masih belum efisien, seharusnya dicarikan solusinya agar bisa efisien. Bahkan bila perlu dengan menghilangkan fungsi midstream seperti, PLTU di mulut tambang dan PLTP di lapangan geothermal. Mengapa tidak juga dibangun PLTG yang dekat lapangan gas?” ujar Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) dalam tulisan yang diterima Klikanggaran.com di Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Yusri mengatakan, tentu saja akibat sikap tegas dan kebijakan Jonan ini telah membuat Wan Abud kelabakan, lalu melambung ke Menkeu dengan menjual isu "proyek 35 GW terancam". Menurutnya, kalau mau mencermati poin 4 surat Menkeu, jelas arahnya agar Menteri ESDM segera mengatur tarif batubara sesuai kemauan PLN.

“Padahal persoalan sebenarnya adalah PLN yang tidak efisien, yang mengakibatkan kondisi keuangan PLN jelas tidak sehat,” kata Yusri.

Dalam hemat Yusri sesungguhnya ini semua menjadi salahnya Wan Abud, yang ngotot bahwa semua skema proyek IPP harus menyertakan IP or PJB sebagai pemegang saham, tentu saja akan menambah konsolidasi utang PLN.

“Padahal, kalau IPP murni, yang dijamin PLN hanya tagihan bayar listrik yang dihasilkan, utang proyek keseluruhan merupakan "on project financing basis", jadi nggak ada pengaruhnya langsung ke keuangannya PLN. Sikap itu akan dibaca publik. Itulah, bankir skala KUD koq, mengurusi proyek dengan struktur pembiayaan yang komplek,” lanjutnya.

Sehingga, berdasarkan persoalan yang sudah rumit ini, menurut Yusri akan membahayakan ketidakpercayaan pemberi pinjaman kepada PLN atas "bond", yang sudah ditebitkan dengan jaminan Pemerintah, akan berpotensi mengalami gagal bayar bisa mencapai Rp 700 triliun.

“Tentu sungguh sangat mengawatirkan,” sesalnya.

Maka untuk hal tersebut, Yusri berpendapat bahwa Kementerian BUMN perlu segera melakukan langkah peremajaan di PLN. Yaitu dengan menempatkan orang-orang yang mengerti soal financial engineering.

“Kalau hal ini tidak segera dilakukan, maka akan selesai PLN ini, lalu menjadi Perusahaan Lillin Negara. Kemudian, yang tak kalah aneh lagi, PLN sudah begitu, malah mau membeli perusahaan batubara. Mau punya FSRU, LNG terminal, dan geotermal Pertamina, hebat kan???” tandas Yusri.

Halaman:

Tags

Terkini