kebijakan

Bapak Achandra Tahar yang Terhormat, Kiranya Berkenan Meninjau Ulang Kebijakan Melelang Blok East Kalimantan

Senin, 2 Oktober 2017 | 01:07 WIB
images_berita_Sept17_TIM-Arcandra

Jakarta, Klikanggaran.com (2/10/2017) – Beberapa tahun lalu, Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), hatinya merasa terusik atas kasus Blok Mahakam. Saat itu dia menyatakan, hakekatnya Blok Mahakam merupakan urat nadi nasionalisme dan harga diri bangsa. Sejatinya, semua anak bangsa wajib mendukung PT Pertamina untuk mengelola lapangan migas di timur Borneo itu.

Kali ini, Pengamat kebijakan energi, alumnus Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini kembali dibuat prihatin, yaitu atas upaya Wakil Menteri ESDM, Achandra Tahar, yang dinilainya tergesa-gesa. Seperti dikatakan pada Jumat (23/9/2017), bahwa Achandra Tahar akan segera melelangkan blok migas East Kalimantan yang sudah berproduksi hampir 50 tahun dikelola oleh Chevron Indonesia Company yang akan berakhir kontrak PSC pada 24 Oktober 2018. Yusri Usman merasa, ada hal yang sepertinya harus dipertanyakan, sesungguhnya hal ini untuk kepentingan siapa?

Selanjutnya, berikut disampaikan oleh Yusri Usman pada Klikanggaran.com di Jakarta, Senin (2/10/2017) :

Kalau alasan kebijakan ini untuk kepentingan menjaga ketahanan energi nasional, tentu kenyataannya bertolak belakang, karena telah mengesampingkan peran dan hak Pertamina.

Sejalan dengan itu, perlu juga diketahui adanya penegasan Achadra di depan RDP DPR pada 10 Juli 2017, yang telah mengatakan, Pertamina sudah menyampaikan hasil kajian bahwa blok tersebut tidak ekonomis dengan menggunakan skema "gross split". Achandra, pada awal September 2017 merubah Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 menjadi Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tentang "revisi gross split", agar bisa lebih menarik investor berinvestasi di sektor hulu. Maka secara akal sehat, dengan adanya ketentuan baru itu, seharusnya Achandra memberikan kesempatan lagi kepada Pertamina untuk mengkaji ulang keekonomiannya. Tetapi, faktanya hal ini tidak dilakukan, walaupun Pertamina sudah minta tambahan waktu tiga bulan lagi.

Pertanyaannya adalah, revisi "gross split" itu untuk kepentingan apa dan untuk siapa?

Adapun fakta ketidakberpihakan Kementerian ESDM kepada Pertamina, sejak awal Juli 2017 sudah terlihat dengan sikap Achandra yang terkesan sudah mengancam Pertamina untuk segera mengembalikan blok tersebut dari delapan blok migas yang akan dikelola oleh Pertamina.

Asal tahu saja, Pertamina melalui Direktur Hulu Syamsu Alam sudah minta tambahan waktu untuk melakukan kajian keekonomian lapangan secara hati-hati, untuk menganalisa dampak resiko kerugian terkait adanya biaya pemulihan lapangan (Abendonment Site Restoration/ASR) paska produksi yang seharusnya merupakan kewajiban operator lama, sekarang disyaratkan menjadi kewajiban Pertamina. Dan, kalau menurut Pertamina, apabila semua biaya itu dibebankan, akan menjadi kurang ekonomis. Maka atas dasar itulah, untuk menghindari resiko rugi, perlu waktu mengkaji lagi. Bahkan bisa jadi dengan revisi konsep "gross split" yang baru menjadi ekonomis.

Padahal biaya pemulihan lapangan (ASR) itu sudah termasuk dalam WP & B dari Plan of Develoment (PoD) setiap lapangan dikomersilkan dan merupakan kewajiban negara yang sudah menikmati hasil produksi dari lapangan tersebut, untuk membiayainya dengan skema "cost recovery". Sehingga kalau mewajibkan Pertamina, adalah sebuah dagelan mengada-ngada.

Seandainya benar Wamen ESDM Achandra peduli terhadap program ketahanan energi nasional sesuai kebijakan Presiden, harusnya menugaskan Pertamina mengelola blok tersebut dengan melakukan beberapa  simulasi keekonomian yang harus bisa ekonomis. Termasuk, bila perlu mengurangi bagian negara. Toh, Pertamina juga perusahaan milik negara.

Namun, kebijakan itu tidak dilakukan, sementara sikap Pemerintah sangat berbeda dibandingkan terhadap tujuh jenis industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku dan energi, dengan sangat peduli mencari jalan harga gas di hulu bisa di bawah USD 6 per MMBTU dengan mengadakan rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian pada 16 November 2016. Tetapi, problem yang hampir sama kepada Pertamina, PGN dan PLN, terkesan diabaikan.

Bahkan Achandra terkesan lebih berpihak kepada KKKS asing daripada PGN, dengan merevisi harga jual gas dari Conoco Philips Grissik dari blok Coridor kepada PGN pada tanggal 31 Juli 2017 sesuai surat Menteri ESDM Nomor 5882/12/MEN.M/2017 dari harga jual USD 2,6/MMBTU menjadi USD 3, 5/MMBTU dengan alasan menjaga "fairness" bisnis migas hulu, midstream, juga untuk meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi, akibatnya PGN babak belur, tidak boleh menaikkan harga jual gas kepada PT PLN, IPP, dan konsumen lainnya di Batam.

Kalau kebijakan Kementerian ESDM seperti ini, maka menjadi tak salah kalau PLN akhirnya mencari jalan sendiri untuk berhubungan langsung dengan sekelas trader di Singapore, mencari LNG untuk kebutuhan PLTGU wilayah Kepulauan Riau. Dan, akan menjadi tak salah juga kalau publik menilai aneh. Selama ini Pemerintah telah menugaskan Pertamina dan PGN  di luar negeri mencari lapangan migas untuk menjaga ketahanan energi nasional, adalah suatu pencitraan yang konyol. Sementara ada potensi lapangan produksi di dalam negeri yang tingkat resiko gagalnya rendah, malah diserahkan kepada pihak lain.

Ibarat kata, “kambing kurus di negeri orang dikejar-kejar, sapi gemuk di halaman sendiri disajikan untuk disantap oleh tamunya".

Halaman:

Tags

Terkini