(KLIKANGGARAN) — Jalanan Jakarta selalu terang benderang, pusat perbelanjaan dan gedung perkantoran seakan tak pernah kekurangan listrik. Namun di balik kelimpahan cahaya itu, PLN justru sedang menanggung kerugian besar.
Masalah utamanya bukan kekurangan daya, melainkan kelebihan pasokan atau oversupply. Fenomena ini sudah berlangsung sejak 2015. Laporan Transisi Energi Berkeadilan yang dirilis Agustus 2025 mencatat, pada 2024 saja surplus listrik mencapai 37,6 ribu gigawatt-jam (GWh).
“Kerugian operasional PLN ditaksir mencapai Rp 44,1 triliun pada 2024,” tulis laporan tersebut, seperti dikutip pada 25 September 2025.
Skema Kontrak Jadi Biang Kerugian
Kewajiban membeli listrik dari pembangkit swasta (IPP) meskipun tak terpakai menjadi akar masalah.
“Jadi meski listrik itu akhirnya tidak terserap, PLN tetap harus bayar,” kata Alexandra Aulianta, peneliti dari Trend Asia dalam opini yang dipublikasi Katadata, 24 Juni 2024.
Setiap 1 gigawatt listrik yang tidak digunakan bisa membakar Rp 3 triliun. Dengan kelebihan sekitar 6 GW saja, kerugian bisa menembus Rp 18 triliun.
“Uangnya betul-betul terbuang, sementara masih ada ribuan desa yang bahkan belum berlistrik,” ujar Alexandra.
Ironisnya, menurut Trend Asia, masih ada sekitar 4.400 desa yang belum teraliri listrik. Di Jawa dan Sumatra PLN kebanjiran pasokan, tapi di pelosok banyak warga masih bergantung pada pelita minyak untuk aktivitas malam hari.
Upaya Pemerintah dan PLN
Dadan Kusdiana, saat menjabat Dirjen Ketenagalistrikan, mengakui surplus listrik bisa mencapai 40 persen atau sekitar 6 GW.
“Kami sedang mencoba renegosiasi kontrak take-or-pay dengan Independent Power Producers. Kalau berhasil, potensi penghematannya bisa Rp 40 triliun,” kata Dadan kepada Kontan pada Januari 2023.
Pemerintah sempat menggulirkan rencana menaikkan daya listrik rumah tangga miskin dari 450 VA ke 900–1200 VA tanpa menaikkan tarif. Tujuannya agar surplus terserap, tetapi terbentur anggaran subsidi sehingga belum terwujud.
Oversupply dan Transisi Energi