"Uni Emirat Arab mengejutkan kami dengan menyetujui kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Israel," tulis Pangeran Turki. Namun dia menambahkan bahwa Abu Dhabi memiliki hak untuk membuat keputusan berdaulat yang dipandang bermanfaat bagi rakyatnya.
Namun dia kemudian mengesampingkan normalisasi hubungan dengan Israel sebelum pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Suara penting Saudi lainnya mengatakan bahwa Netanyahu sejauh ini mendapatkan lebih banyak dari kesepakatan itu daripada yang diperoleh orang Arab.
Khalid Al Dakheel, seorang sosiolog, penulis, dan komentator politik Saudi terkemuka menulis di Twitter: “Tampaknya Uni Emirat Arab ingin memberi Trump sebuah kartu pemilihan. Netanyahu menangguhkan aneksasi tetapi tidak mengakhirinya. Dia melakukannya sebelumnya di bawah tekanan Eropa dan Amerika, dan karena penolakan Arab.
"Akibatnya, dia telah memperoleh normalisasi Arab baru dengan imbalan apa-apa. Keuntungan UEA akan menjadi lebih jelas setelah 3 November. Dan begitu juga dengan keuntungan Trump. Pemenangnya sejauh ini adalah Netanyahu. Selain itu, waktu akan menjawabnya."
Permusuhan terhadap kesepakatan di Teluk telah terbukti di media sosial, terlepas dari upaya aktif Emirat dan Saudi untuk mengontrol dan melawan kritik online, dengan "Normalisasi adalah pengkhianatan" dan "Orang-orang Teluk menentang normalisasi" keduanya menjadi tren sebagai tagar.
Beberapa jam sebelum Pompeo tiba di Sudan pada hari Selasa, koalisi Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) yang berpengaruh mengatakan bahwa masalah normalisasi dengan "Israel" bukanlah salah satu masalah yang akan diputuskan oleh pemerintah transisi.
Haidar al-Safi, anggota utama koalisi Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) yang mendukung pemerintahan transisi Sudan, sebelumnya mengatakan kepada MEE bahwa normalisasi adalah masalah nasional yang harus ditangani dengan hati-hati dan setelah konsultasi luas dengan gerakan akar rumput.