“Untuk mengambil PT. Freeport Indonesia, bahkan Inalum harus berhutang sebesar USD 3.85 milyar. Namun, PKP2B yang semestinya diletakkan sebagai lading energi untuk kepentingan ekonomi nasional ke depan, semestinya justru harus lebih diprioritaskan untuk dikelola oleh BUMN. Apalagi, berbeda dengan pengambilan PT.FI yang harus menggunakan overseas loan, justru pengambil,” kata Yusri.
“Rakyat menjadi mudah menilai, arah partai pendukung perpanjangan PKP2B menjadi IUPK dengan mengakomodir melalui revisi UU Minerba jelas bukan bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Namun, telah terkooptasi dengan pemilik PKP2B tertentu. Demikian juga jika Presiden tetap mengeluarkan PERPU UU Minerba, arah kerja Presiden dinilai bertentangan dengan tujuan BUMN yang harus diperkuat dan diperbesar. Demikiaan juga, sumber daya energi (batubara) yang semestinya lebih dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya (mayoritas) dan menjadi sebatas untuk kepentingan konglomerat pemilik tambang (minoritas),” lanjutnya.
Yusri sangat menyesalkan, Raker DPR dengan Pemerintah (19/07) terkesan sangat istimewa dan penuh muatan pesan sponsor. Pasalnya, konsep revisi UU mendadak baru diserahkan KESDM ke DPR RI pada 8 Juli 2019, sekaligus masuk dalam prolegnas prioritas. Bahkan Ridwan Hisyam dkk menginginkan dalam 3 minggu sebelum reses DPR, telah selesai. Ironisnya, Revisi UU Minerba yang jelas-jelas dipaksakan untuk kepentingan sebatas pemilik tambang, Ridwan Hisyam mengusulkan dikerjakan siang malam. Sebaliknya UU lain yang menyangkut hajat orang banyak justru berlarut-larut prosesnya.
“Untunglah, Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengembalikan DIM tersebut kepada Pemerintah untuk diminta dilakukan sinkronisasi antara Kementerian dan Lembaga terkait,” ujar Yusri.
Menjadi sangat sulit dibantah, kata Yusri, publik menilai sejak RPP Minerba ke 6 diproses dengan tak lazim dan telah ditolak KPK setelah terlihat istana sempat masuk angin. Sikap tegas Meneg BUMN Rini Soemarno menjadi sangat beralasan untuk kepentingan bangsa. Melalui suratnya kepada Mensesneg (1/03/ 2019) mempertegas bahwa UU Minerba perlu mengakomodir penguasaan dan penguatan peran BUMN Tambang dalam mengelola bahan baku energi primer untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang. Dalam RUPTL PLN 2019-2028, jelas bahwa PLN membutuhkan batubara sebesar 153 juta ton di tahun 2028. Belum lagi untuk kebutuhan industri lainnya. Jadi sikap berani Meneg BUMN ini menurutnya patut diapresiasi.
“Meskipun berisiko dia akan didepak dari posisi Meneg BUMN karena ada yang terganggu oleh sikap itu, berbeda kontras dengan direksi BUMN tambang terkesan pengecut, pengen mengelola tambang itu, tapi tak berani bersuara, takut dicopot. Langkah strategis visioner Rini, sayangnya tidak didukung sepenuhnya oleh Budi Sadikin sebagai pengendali BUMN Pertambangan dan Dirut PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang semestinya lebih “berteriak untuk menangkapnya”, justru keduanya seolah menghindar dari pembicaraan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK,” sesal Yusri.
Yusri menekankan, jika proses perpanjangan PKP2B menjadi IUPK dilakukan Menteri ESDM dengan tetap mendasarkan UU Minerba dan jauh- jauh telah dipersiapkan, maka semuanya akan berjalan mulus. Tidak memakan korban sampai terhentinya PT. Tanito Harum. Dari enam PKP2B lainnya (PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy (2020), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan terakhir PT Berau Coal (2025), semestinya saat ini dapat dilakukan persiapan bagaimana transisi pengambilan alih oleh BUMN dapat dilakukan. Justru tugas Menteri ESDM yang bertanggung jawab keteknikan dan Dirjen, yang semestinya mempersiapkan bagaimana transisi dilakukan. Bukan malah membenturkan lembaga kepresidenan untuk memaksakan RPP, bahkan PERPU.
Bagaimanapun secara hukum, tegas Yusri, pemilik sumber daya alam adalah rakyat Indonesia. Sehingga Presiden dan menterinya, semestinya memperjuangkan manfaat sumber daya alam (batubara) untuk kepentingan rakyatnya. Bukan sebatas kepentingan pemilik tambang. Dari besarnya produksi sebesar 220 juta metrik ton per tahun, atau separuh dari total produksi batubara nasional. Dengan asumsi mendapatkan profit margin 10 USD permetrik ton, maka mereka bisa meraup laba bersih sekitar USD 2,2 miliar sampai dengan USD 3.5 miliar setiap tahunnya. Tentu ini menjadi nilai yang sangat besar bagi pemiliknya untuk terus melakukan berbagai lobi untuk memperpanjang.