KLIKANGGARAN -- Peristiwa lenyapnya tanah Muchtar Djafar Adam, warga kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai di buku tanah BPN Manggarai Barat (BPN Mabar) yang berlokasi dekat Bandara Komodo terus mendapat publik.
Peristiwa lenyapnya tanah Djafar di Labuan Bajo berawal ketika Djafar tengah mengurus administrasi perpindahan alamat tanah selepas pemekaran Kabupaten Manggarai Barat. Djafar terkejut namanya di buku tanah BPN Mabar telah dicoret, pencoretan terjadi berdasarkan Akta Jual Beli (AJB). Di sisi lain, Djafar dan pihak yang namanya tersebut dalam AJB menyatakan tidak pernah ada transaksi jual beli atas tanah tersebut. Bahkan menurut kuasa hukum Djafar, M.Z Al-Faqih, BPN hingga kini BPN Mabar belum pernah memperlihatkan AJB yang menjadi dasar peralihan hak.
“Djafar dan pihak lain yang namanya tertera dalam AJB telah menyerahkan kepada BPN Mabar pernyataan bersama yang dibuat di hadapan Notaris. Isinya menerangkan keduanya tidak pernah traksaksi jual beli tanah dan tanah tersebut milik sah pak Djafar, Keduanya juga telah bersurat resmi kepada BPN Mabar minta peralihan hak dalam buku tanah dibatalkan,” ungkap Al-Faqih
Sorotan kali ini datang dari pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhtar Said.
Said menyatakan dalam perkara lenyapnya tanah Muchtar Djafar Adam di buku tanah BPN Mabar yang berdasarkan keterangan BPN Mabar kepada Muchtar Djafar Adam terjadi karena adanya Akta Jual Beli (AJB), namun kedua pihak dalam AJB tidak pernah mengakui adanya tandatangan dalam AJB, tidak pernah merasa membuat AJB maka BPN harus segera melakukan penyelidikan.
“Penetapan terkait peralihan hak milik tanah adalah wewenang BPN, dalam konteks ini berlakulah yang namanya asas actus contrarius reactus siapa, asas ini menerangkan siapa membuat keputusan maka dia pulalah yang berhak dan bertanggung jawab untuk mencabutnya. Kemudian terdapat asas reparatoir, yaitu asas tentang pengembalian keadaan seperti semula, pada saat ada kejadian seperti yang dialami Djafar dan ditemukan adanya indikasi pemalsuan. Berdasarkan asas-asas ini BPN tidak perlu putusan pengadilan untuk memulihkan hak Djafar.” Ujar Said.
Menurut Said BPN adalah eksekutif yang tindakan-tindakannya adalah tindakan administrasi.
"Pada saat terjadi permasalahan seperti yang menimpa Djafar maka penyelesaiannya dikembalikan kepada asas hukum yang berlaku di ranah hukum administrasi negara, yaitu asas actus contrarius reactus dan asas reparatoir,” kata Said.
Sebelumnya Dosen hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta menyampaikan pendapat senada. Dayanto prihatin atas kejadian yang menimpa Djafar. Dayanto tegas menyatakan hak milik Djafar atas tanah termasuk hak yang dijamin hukum. Hak tersebut dilindungi baik oleh institusi administratif maupun yudisial.
“BPN Manggarai Barat perlu lebih teliti dalam pengadministrasian hak-hak tanah yang berada di wilayahnya. Pelanggaran prosedur yang sah dapat merugikan kepentingan subjek pemilik tanah,” kata Dayanto.
Dayanto mendesak BPN Mabar membatalkan pencoretan tanah milik Djafar. Tindakan tersebut dilindungi dan dibenarkan oleh hukum administrasi berdasarkan prinsip contrarius actus.
"Salah satu prosedur yang penting adalah mengenai dasar peralihan hak yang menjadi dasar kepemilikan. Misalnya, apakah dasar peralihan hak atas tanah dalam kasus tanah Djafar melalui jual beli secara sah ataukah terjadi karena manipulasi atau kekeliruan. Jika manipulasi atau kekeliruan, maka pengadministrasian hak atas tanah yang dilakukan BPN Mabar dapat dibatalkan sendiri oleh BPN Mabar." pungkas Dayanto.