Minyak Bodong Glencore ke Pertamina Harus Diusut Tuntas Oleh KPK dan BPK

photo author
- Selasa, 27 September 2016 | 07:37 WIB
images_berita_Sep16_1-KR-Kilang
images_berita_Sep16_1-KR-Kilang

Jakarta, Klikanggaran.com - Sudah bukan hal aneh lagi jika Pertamina, perusahaan BUMN strategis yang menyangkut dan mengemban kepentingan rakyat banyak tidak pernah sepi dari isu kontroversial. Ibarat pohon, semakin tinggi semakin kencang angin bertiup. Semoga Pertamina bisa menjadi pohon yang tinggi, menjadi salah satu tempat berteduh bagi masyarakat Indonesia.

Dari berbagai isu kontroversial itu, adalah pemahaman yang "sesat bin keliru" kalau ada pihak mengartikan bahwa setiap upaya mengkritisi aktifitas bisnis Pertamina adalah bagian dari upaya untuk menghacurkan PT Pertamina Persero.

 

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, melalui salah satu catatannya mengemukakan pada klikanggaran, sejarah telah mencatat bahwa Pertamina pernah colaps di masa kepemimpinan Dr. Ibnu Sutowo pada sekitar era 1970 - 1975, karena korupsinya luar biasa, mencapai hingga USD 10.5 miliar. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Yusri, merupakan kewajiban semua pihak harus menyelamatkan Pertamina.

Tetapi, Yusri Usman memberikan tekanan, janganlah cara menyelamatkan itu diartikan, kalau pejabatnya berindikasi kongkalikong kita harus tutup mata dan pura-pura tidak tahu.

“Nah, kalau begitu kasusnya, ya kita wajib mengkritik. Yang berbuat lupa harus dikritisi, donk. Ini sebagai bentuk ikut merasa memiliki aset bangsa. Kalau tidak dikritisi, maka kita bisa dituduh sebagai bagian dari mata rantai kejahatan itu sendiri. Karena setiap kongkalikong mulai aktifitasnya dari hulu sampai ke hilir,” kata Yusri Usman pada klikanggaran, Selasa (27/09/2016).

Dan, lanjut Yusri, seandainya pembelian minyak mentah yang tidak transparan itu yang membuat harga pokok BBM menjadi mahal, karena pemerintah membatasi subsidinya, tentu akan membuat Pertamina kedodoran. Tapi, anehnya Pertamina sejak pertengahan tahun 2015 sangat sering dan rajin merilis, banyak melakukan penghematan ratusan juta dollar. Malah, kalau ditotal kata Yusri, semua bicara efisiensi, yang kerap dirilis oleh direksi bisa mencapai miliaran dollar.

“Tetapi, lucunya sekarang bilang merugi. Contohnya seperti adanya dugaan mark up pembelian Vesel oleh Pertamina Trans Kontinental pada tahun 2013 senilai USD 5 juta, dan kasus terbaru adalah 2 tangker MT Tatiti dan MT Stavenger Blossom, yang membawa minyak mentah bodong 1,2 juta barel, yang disuplai oleh Glencore dengan tujuan Kilang Dumai dan Kilang Balikpapan, yang akhirnya ditolak,” ulas Yusri.

Penolakan tersebut menurut Yusri bisa jadi karena dukungan pers yang selalu membuka ke publik, sehingga membuat proses bisnisnya menjadi lebih transparan, dan publik akan mudah mengetahui apakah sesuai kontrak atau menyimpang dari kontrak. Sehingga sikap kritis baik oleh pengamat atau insan Pers itu haruslah dimaknai sebagai kontribusi anak bangsa yang ingin menyelamatkan Pertamina dari upaya perampokan dengan permainan  kongkalikong antara pengusaha dengan oknum pejabatnya. Jadi, kalau pengamatnya dan Pers diam dan malah berkolaborasi dengan pejabat, Pertamina bisa disebut "Pengpeng, yaitu Pengamat merangkap Pengaman, alias pengawal". Kata Yusri istilah ini sering dipopulerkan oleh mantan Menko, Rizal Ramli. "Pengpeng = Pejabat merangkap Pengusaha".

“Berdasarkan fakta dan pengalaman itulah seharusnya BPK dan KPK segera menyelidiki adanya dugaan mark up atas pembelian kapal di Pertamina Trans Kontinental, yang berpotensi menimbulkan kerugian karena gagal suplai minyak Libia oleh Glencore, serta banyak temuan lainya yang sering dirilis oleh BPK setiap tahunnya. Juga dugaan adanya penyalahgunaan dana di bagian Corporate Comunication Pertamina yang boros, dan digunakan sebagai pencitraan yang berlebihan,” lanjut Yusri.

Yusri menekankan, KPK harus serius memantau pergerakan 2 kapal tangker yang membawa minyak bodong tersebut keluar dari perairan Indonesia, agar terhindar minyak mentah tersebut, dengan modus canggih masuk kembali ke kilang Pertamina.

“Kalau itu terjadi, maka bisa babak belur Pertamina menanggung kerugian sekitar USD 12 juta,” cetusnya.

Menurut hemat Yusri, terkait pengadaan minyak mentah yang telah menghebohkan itu, sesungguhnya dalam "best practice Crude Oil Management System" (COMS) tidak dikenal membeli minyak mentah (crude) dengan cara "mengoplos" di atas kapal. Dan, jika itu dilakukan, maka akan terjadi beberapa kelemahan, antara lain soal akurasi kuantitas maupun kualitas. Percampuran (Blending) seharusnya dilakukan di kilang Pertamina.

Demikian juga dengan telah terjadinya salah pengiriman yang telah diketahui oleh publik (dari ref. media), dan baru dipermasalahkan Pertamina setelah kapal tangker sampai di Balikpapan dan Dumai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X