Jakarta, Klikanggaran.com - Ketua Umum eSpeKape (Solidaritas Karyawan Pensiunan Pertamina), Binsar Efendy Hutabarat tidak habis pikir atas kebijakan Direksi Pertamina yang telah memutuskan melakukan akuisisi saham milik Jean Francois Hanin atas nama perusahaan Pasifico dengan saham 24,53% di holding Maurel & Proum (P&M) Perancis, dan memiliki aset blok migas di berbagai negara dengan total cadangan terbukti hanya sekitar 250 juta barel dan produksinya hanya sekitar 29.000 barel ekuivalen per hari (BOEPD), terdiri dari hasil negara Gabon, Tanzania, dan Nigeria.
Kekagetan Binsar Effendi ini dipicu oleh rilis Direksi Pertamina pada 30 Agustus 2016 bahwa dia telah menandatangan kerjasama penggunaan kilang Shell Singapore untuk mengolah minyak mentah milik Pertamina dari sumur West Qurna 1 Irak sebanyak 1 juta barel per bulan dengan skema "Crude Processing Deal" (CPD) dapat penghematan 15%, bahkan secara terselubung Pertamina mengakui kehandalan kilangnya masih jauh di bawah kilang Singapore dan kilang Pertamina sudah tidak efisien serta program upgrading kilang masih sebatas wacana saja alias "omdo".
Sebelumnya juga pada tanggal 26 Agustus 2016 Direksi Pertamina sudah lebih dulu merilis berita telah mengakuisisi 24,53% saham dengan nilai 201,2 juta Euro setara Rp 29,9 triliun. Dan, akan menyiapkan sekitar 220 juta Euro setara Rp 32,5 triliun untuk 2 bulan mendatang agar bisa mengakuisisi sahamnya lagi sekitar 27% untuk menjadi pemilik saham mayoritas dan bisa mengendalikan asetnya.
Berdasarkan kedua informasi tersebut di ataslah muncul pertanyaan yang sangat menggelitik logika berpikir Binsar Efendi yang bisa memancing kecurigaan publik bahwa transakasi yang dilakukan terhadap perusahan M & P oleh Pertamina penuh dugaan pat gulipat alias korupsinya.
Karena, di samping harganya sangat mahal, ternyata tidak membeli aset, dan faktanya asetnya juga terletak berjauhan di 3 negara dengan volume produksinya yang hanya di bawah 29.000 barel equivalen per harinya (BOEPD). Tentu hal ini memancing "gagal paham", apa motif dan tujuan Direksi Pertamina melakukan aksi korporasi itu?“ tanya Binsar penuh heran.
Binsar mengatakan bahwa prospek itu sudah pernah ditawarkan kepada Direksi Pertamina yang lama pada tahun 2013, dan berdasarkan kajiannya tidak layak untuk ditindak lanjuti, bahkan pada saat sebelum dieksekusi oleh Direksi Pertamina yang baru, infonya salah satu komisaris Pertamina tidak setuju atas nilai per saham 4,2 Euro, karena faktanya harga riil jauh di bawah itu, bahkan pernah disuspen sahamnya pada Juli 2016 oleh Otoritas Bursa Saham di Perancis.
“Kalau produksinya hanya segitu dan harga beli sahamnya sangat fantastis, kenapa Pertamina tidak berhemat dan fokus mengambil blok migas di dalam negeri yang kontrak PSC-nya akan berakhir dalam tahun 2017 dan 2018? Selain itu, murah dan produksinya masih lebih baik dari membeli saham milik M & P Perancis,” kata Binsar, Sabtu (3/9/2016).
Kemudian, jika Pertamina jadi mengakuisisi 30 persen saham dari LukOil di West Qurna 2, sebenarnya Pertamina memiliki 'jatah' minyak dari Blok West Qurna 2 sebanyak sekitar 101.250 barel per hari (bph). Pada 2019, Blok West Qurna 2 ditarget bisa meningkatkan produksi minyaknya ekuivalen hingga 1,2 juta bph. Menurut Binsar itu berarti untuk tiga tahun ke depan, jika tidak batal mengakuisi, Pertamina punya ‘jatah’ minyak di Blok West Qurna 2 sebanyak 270 ribu bph. Diperkirakan cadangan minyak di Blok West Qurna 2 total mencapai 13 miliar barel, yang dihasilkan dari dua formasi utama, yakni Mishrif dan Yamama. Blok West Qurna Barat 2 adalah salah satu ladang minyak terbesar nomor dua di dunia setelah Blok Ghawar di Saudi Arabia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), jika Pertamina jadi mengakuisisi Blok West Qurna 2, konon hanya perlu mengucurkan dana sekitar US$ 1,2 miliar, atau sekitar Rp 15,8 triliun, dengan asumsi harga minyak saat itu US$ 70 per barel. Kini, rata-rata produksi minyak ekuivalen di Blok West Qurna 2 berkisar 450 ribu bph. Sehingga dengan harga minyak saat ini rata-rata di bawah US$45 per barel, Pertamina hanya butuh sekitar US$ 1 miliar, setara Rp 13,2 triliun untuk mengakuisisinya.
“Sekarang kalau untuk mengambil 24,5% sahamnya saja, Pertamina sudah merogoh koceknya sebesar Rp 29,7 triliun. Maka untuk mengambil saham berikutnya tentu Pertamina harus siap-siap merogoh koceknya lagi sekitar Rp 32,5 triliun agar bisa mengontrol mayoritas di Holding M&P,” ucap Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), Binsar Effendi Hutabarat dalam rilisnya kepada pers, Jumat (2/9/2016).
Pertanyaan yang amat pantas dialamatkan kepada Direksi Pertamina menurut Binsar adalah, apakah untung mengakuisisi 24,5 persen saham M&P dengan jatah minyak hanya 7.137 bph, dibandingkan dengan mengakuisisi 30 persen saham LukOil yang bisa membawa minyak hingga 101.250 bph? Padahal ada perbedaan 14 kali lipat minyak jatah Pertamina antara di perusahaan M&P dengan di West Qurna 2 Irak.
Belum lagi ditinjau dari perbedaan volume produksi aset milik perusahaan M&P yang hanya sekitar di bawah 30 ribu bph dan terletak di 3 negara dibanding aset Blok West Qurna 2 itu yang letaknya bersebelahan dengan Blok West Qurna 1, yang sudah dimiliki sahamnya 10 persen oleh Pertamina EP Irak,” lanjut Binsar yang juga Ketua FKB KAPPI Angkatan 1966.
Lalu, faktanya menurut Binsar, jika saja Pertamina jadi mengakuisisi Blok West Qurna 2, maka hanya perlu mengeluarkan dana Rp 15,8 triliun, itu pun dengan asumsi harga minyak saat itu US$ 70 per barel.