Jakarta, Klikanggaran.com - Pola penyajian informasi yang cenderung spontan, serba cepat, dan instan di Medsos (media sosial) tidak diimbangi dengan sesuatu yang berbeda, tetapi justru dijadikan mode jurnalistik yang baru oleh media massa konvensional. Begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang diungkapkannya di media sosial telah tersebar ke mana-mana, menimbulkan kegaduhan publik, dan merugikan pihak tertentu.
"Media sosial menampilkan negativitasnya di sini. Lebih memprihatinkan lagi, negativitas media sosial itu justru diamplifikasi dan diperkuat oleh media massa, khususnya media daring dan media televisi. Kekusutan komunikasi politik, kontroversi, dan debat kusir di media sosial dalam banyak kasus dilanjutkan di ruang pemberitaan atau bincang-bincang media (talkshow)," tutur Adhe Satria, Ketua Umum Forjim (Forum Jurnalis Muslim) di acara diskusi dengan tema “Pengaruh Media Sosial Dalam Dakwah Islam” di Aula Gedung MUI Pusat Lantai 4, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (25/11/2016).
Ade melanjutkan, akibat dari semua itu, saat ini cukup mudah menemukan berita politik yang tidak berimbang, mengabaikan verifikasi sumber kunci, atau menggunakan judul yang menghakimi. Pada awalnya ini hanya menjadi tren di dunia jurnalistik daring, tapi pada perkembangannya juga mulai menggejala di semua jenis media.
Memang, konflik adalah oase yang tak pernah kering dalam pemberitaan. Konflik dan hal-hal kontroversi selalu memikat untuk diberitakan dan punya daya magnetik di hadapan masyarakat. Namun, perlu dipersoalkan motif media terhadap konflik atau kontroversi.
Apakah motif komodifikasi berdasarkan pertimbangan oplah, rating, hit, atau bahkan motif politik keberpihakan kepada suatu kelompok atau golongan? Padahal tugas utama media adalah membantu masyarakat memahami persoalan, mengambil pelajaran berharga, dan mencari jalan penyelesaian konflik, tanpa sadar justru mengintensifkan konflik.
Kode etik jurnalistik menegaskan, media harus memberitakan secara berimbang. Sampai di sini, terlihat jelas sesungguhnya kita sedang menghadapi krisis etika berkomunikasi, yang pada level media massa, wujudnya pengabaian kode etik jurnalistik atau etika penyiaran hinggga taraf banal dan masif. Begitu serius pengabaian itu hingga sebagian awak media mungkin tidak lagi menganggap berita yang tidak berimbang atau menghakimi sebagai bentuk kesalahan.
Sungguh pun demikian, semua pihak pasti sepakat proses berkomunikasi pada level mana pun tak mungkin berjalan tanpa etika. Tanpa dilandasi etika, praktik bermedia akan mengarah pada kekacauan. Pada akhirnya, masyarakat yang menanggung kerugian paling besar. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan sosial politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan dan perseteruan tak berujung.
Literasi media jelas diperlukan. Kita perlu mengingatkan kepada para “praktisi” media tentang pentingnya kemampuan pengendalian diri, kepekaan terhadap dampak-dampak komunikasi, serta kedewasaan dalam menghadapi perbedaan pendapat di ruang publik.
Proses berkomunikasi, sekali lagi, menuntut kemauan semua yang terlibat untuk menjaga kepatutan dan kepantasan, menghormati orang lain sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, serta untuk menenggang perasaan banyak orang yang menyaksikan proses komunikasi tersebut. Mari kita kembalikan esensi komunikasi sebagai sarana untuk berbagi.
Forjim mengajak masyarakat untuk lebih bijak dan cerdas dalam menerima dan menyerap informasi. Tidak asal telan, tapi meneliti lebih dulu kebenarannya. Begitu juga dengan insan jurnalis agar tidak menuhankan rating, memuaskan syahwat dengan menyajikan berita sensasi, tanpa menuntun kebenaran.
"Jadikan informasi sebagai sesuatu yang bermanfaat, inspiratif, mengokohkan kebenaran, mengedukasi masyarakat, menuntun kebaikan yang pada akhirnya menuai maslahat, bukan mudharat. Inilah jalan dakwah bagi jurnalis muslim," tutup Adhe