Palembang,Klikanggaran.com - Perusahaan Umum Daerah (Perumda) PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J) dan PT Jamkrida Sumsel, ditengarai mempunyai laba bersih negatif, sebab torehan itu diduga menangguhkan pajak dan kewajiban Perseroan sehingga terkesan mendapatkan saldo laba bersih yang positif. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Kota Palembang, Boni Belitong. Bahkan, MAKI menduga bahwa adanya rekayasa audit laporan keuangan.
Boni mengatakan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan menyatakan Pembagian dividen berasal dari saldo laba bersih. Dividen hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba bersih yang positif. Adapun yang dimaksud dengan saldo laba bersih positif adalah laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan yang telah menutup akumulasi kerugian dan kewajiban Perseroan dari tahun buku sebelumnya.
"Dengan mendapatkan saldo laba bersih positif, maka perusahaan dapat menerima tambahan modal dari pemerintah dan membagikan deviden saham serta membagikan bonus. Setelah mendapatkan penambahan modal dari Pemerintah berupa penyertaan modal pemerintah di BUMN/D, maka perusahaan dapat menutupi kerugian perusahaan. Melalui Laporan Keuangan (LK) audit yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mau merekayasa LK, sehingga saldo laba negatif berubah menjadi saldo laba positif," ujar Boni Belitong, melalui keterangan tertulisnya, Senin (14-6).
Boni berujar, PT Jamkrida mendapat penyertaan modal dari Pemprov Sumsel pada tahun 2020 sebesar Rp40 miliar dikarenakan saldo laba positif perusahaan sebesar kurang lebih Rp1,6 miliar pada tahun 2019.
"Meskipun demikian, hal itu justru menjadi tanda tanya, apakah betul saldo laba positif yang dibukukan oleh Akuntan Independen itu?," ujar Boni.
Dia menambahkan, bahwasannya PT Jamkrida atau BUMD milik Pemprov Sumsel berbeda dengan PT SP2J atau BUMD Kota Palembang yang terus-menerus mendapatkan tambahan modal usaha melalui penyertaan modal dengan dalih subsidi ke BRT Transmusi yang diduga sebesar Rp24 miliar per tahun.
"Dugaan rekayasa audit laporan keuangan ini, diduga disebabkan kerugian perusahaan karena besarnya biaya operasional perusahaan. Biaya operasional ini berupa gaji, perjalanan dinas, setoran ke oknum Pemerintah Daerah dan fasilitas yang berbiaya mahal menjadi beban usaha, terkadang mencapai 70% dari beban usaha," beber Boni.
Ia juga menjelaskan, perusahaan yang bisa dikelola oleh sedikit orang yaitu Direksi dan para Manager, sedangkan karyawan perusahaan menjadi over kapasitas karena begitu banyak orang yang terlibat di dalam perusahaan daerah itu.
"Banyak anak perusahaan BUMN/BUMD baru dibentuk tidak layak usaha, namun diduga dipaksakan dibentuk yang diduga untuk mengakomodir sanak family dan titipan, sehingga tak luput menjadi beban APBD serta menggerogoti Pendapatan Asli Daerah.
Kita lihat China yang mempunyai satu armada bus kota bisa jadi 10 bus, dan Chino pedagang tahu yang mempunyai mobil Alphard kenapa mereka bisa begitu! Karena mereka pengusaha dan profesional di bidangnya, serta bukan orang-orang yang duduk datang serta berpikiran kotor mencari kesempatan meraup uang negara," jelas Boni.
Lanjutnya, dilematis Perusahaan Daerah yang menjadi alat meraup uang negara dan diduga untuk menghidupi para pengangguran diduga terjadi hampir di semua Perusahaan Daerah termasuk juga BPR Sumsel yang mendapat penyertaan sangat besar.