Jakarta, Klikanggaran.com (25-07-2019) - Kepala Aset Management Division PT Bank Tabungan Negara (BTN) Pusat, Elisabeth Novie Riswanti, dipanggil Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 26 miliar.
Aset Management Division (AMD) merupakan divisi yang memiliki tanggung jawab untuk merencanakan, mengkoordinir, dan mengawasi semua kegiatan yang berkaitan dengan asset management untuk penyelesaian kredit bermasalah. Pengelolaan proses bisnis asset management memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan menyeluruh agar dapat meningkatkan efektivitas proses penyelesaian kredit oleh petugas Asset Management Division (AMD), yang antara lain dapat dilakukan melalui pemanfaatan sistem Informasi Teknologi (IT) yang telah tersedia.
Perkara yang terkait dengan Elisabeth adalah Pemberian Kredit Yasa Griya (KYG) oleh PT BTN cabang Semarang ke debitur PT Tiara Fatuba dan Novasi atau pembaharuan utang ke PT Lintang Jaya Property.
Kepala Divisi Aset Management BTN Pusat tersebut dimintai keterangan sebagai saksi atas penyelesaian kredit dengan cara Novasi dari PT Nugra Alam Prima ke PT Lintang Jaya Property. Demikian disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Mukri.
Pada bulan April 2014, kantor PT BTN Cabang Semarang telah memberikan fasilitas Kredit Yasa Griya (KYG) kepada PT Tiara Fatuba sebesar Rp15,2 miliar yang prosedur pemberian kreditnya dilakukan secara melawan hukum tidak sesuai dengan Surat Edaran Direksi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., sehingga mengakibatkan kredit macet sebesar Rp 11,9 miliar.
Selanjutnya, Asset Management Division (AMD) kantor Pusat BTN melakukan novasi (pembaharuan utang) kepada PT Nugra Alam Prima (NAP) dengan nilai plafon Rp 20 miliar dan tanpa ada tambahan agunan, sehingga menyebabkan kredit macet kembali terjadi sebesar Rp 15,6 miliar. Proses itu dilakukan pada bulan Desember 2015.
Kemudian, AMD kantor pusat BTN kembali melakukan novasi (pembaharuan hutang) secara sepihak dari PT. NAP kepada PT Lintang Jaya Property yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tanpa ada tambahan agunan kembali dengan plafon kredit sebesar Rp 27 miliar. Hal itu menyebabkan kredit macet kembali sebesar Rp 26 miliar dengan kategori kolektibilitas 5. Proses itu dilakukan pada bulan November 2016. (emka)