Pukul delapan malam, aku dan Bunga sudah duduk di balkon apartemen yang kusewa selama tiga hari. Aku datang lebih dulu kemarin, dari Bandung, sementara Bunga baru bisa sampai kota ini tadi sore. Kata Bunga sewaktu kami merencanakan pertemuan ini, “Aku tidak mau di hotel, Nug. Carikan tempat lain, yang sekiranya kamu pikir aku akan nyaman menempatinya selama dua hari.”
Ah, Bunga. Bukankah tempat ternyaman untukmu adalah hatiku? Kamu sendiri yang mengatakannya tepat satu bulan kita menjalin temali ini.
Aku mendapat apa yang Bunga inginkan untuk kami menghabiskan waktu. Sebuah apartemen di pinggiran kota dengan pemandangan malam hari yang luar biasa menawan. Kami menikmati gemerlap lampu kota, menyesap teh, mendengar kisah masing-masing. Aku dengan perjalanan menggambarku, Bunga dengan segala rangkaian diksinya. Lalu, ketika semua kisah terasa nyaris habis dituturkan, kuberanikan diri menyentuh wajahnya.
***
Tangan Nug kini berada di wajahku. Rasanya hangat, dengan aroma frangipani yang berasal dari sabun tangan di wastafel. Rasanya hangat, dengan buku-buku kasar karena terlalu banyak memeluk pensil. Rasanya hangat, dengan ritme belaian yang mulai aku ingat dan aku sukai. Oh, aku tidak tahu ternyata aku begitu mengharapkan tubuhnya hadir secara nyata di hadapanku. Aku masih tidak percaya, aku benar-benar bisa menyentuh raganya malam ini. Masih terasa seperti mimpi, terasa seperti jauh dari jangkauanku. Sungguh, dua tahun yang luar biasa menyakitkan.
Kini, aku dan Nug hanya berjarak … ah, kami tak lagi berjarak. Tanganku pun sudah sedari tadi berada di wajahnya. Meneliti setiap inci kulit sawo matangnya, berusaha merekam gurat-gurat usia di sana. Iya, aku dan Nug tak lagi belia, tak lagi pantas disebut sebagai ABG yang sedang kasmaran meskipun kami terlihat persis seperti itu.
“Apa yang kamu rasakan, Bunga?”
Aku tidak tahu. Segalanya tampak campur aduk. Aku ingin tertawa, ingin menangis, ingin waktu berhenti berjalan. Aku ingin selamanya seperti ini, aku ingin Nug untuk diriku sendiri, tidak untuk yang lain. Hanya saja, aku harus rela berbagi. Dan, aku harus rela membagi.
“Just … don’t ever think to leave me, Nug.”
“I won’t.”
Seumur hidupku, berciuman adalah hal yang menyenangkan, menggairahkan, dan membuatku hidup. Akan tetapi, menjalaninya dengan Nug, membuatku sadar, segala sesuatunya tidak bisa begitu saja kumiliki. Namun, bukankah manusia masih berhak berharap? Aku dan Nug sudah berkali-kali membahasnya, mempelajari berbagai kemungkinan, mencari celah. Hasilnya tetap sama: aku dan Nug masih harus menunggu, entah berapa lama lagi.
Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami belum ingin berpisah. Kami baru saja mulai, tentu saja tak ingin selesai cepat-cepat. Memang, masih ada empat puluh lima jam lagi, tetapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu.
Bibir Nug masih menempel di bibirku. Rasanya manis, sekaligus getir. Sungguh, bukan perpaduan yang indah, tetapi aku tetap ingin menikmatinya. Aku bahkan rela menunggu dua tahun demi momen ini. Dan, aku tidak pernah mendapat bibir seperti milik Nug sebelumnya. Bibir-bibir sebelumnya hanya berisi nafsu akan lubang pada tubuh bagian bawahku, berisi janji-janji manis, berisi kebohongan yang terasa nyata.
Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami membiarkan segalanya terlepas, membiarkan segalanya menemui takdir, membiarkan semesta menamatkan tugasnya. Jalan yang aku dan Nug lalui kemarin amat rumit. Orang lain mungkin akan menyerah begitu saja, mungkin akan memilih jalan lain yang lebih mudah dan tidak melelahkan, tetapi aku dan Nug bertahan.