Ternyata, lanjut Yusri, terbukti apa yang dikhawatirkan Ahok telah terjadi terhadap proses pembangunan kilang Pertamina RDMP Balikpapan. Dimana sedang mengalami keterlambatan yang sangat signifikan, dan biayanya juga semakin membengkak.
"Pasalnya, konsorsium yang dipimpin Hyundai sekarang mengalami keterlambatan dalam pembangunannya, karena SK Engineering & Contraction Co Ltd yang awalnya sebagai pimpinan konsorsium telah mengundurkan diri. Lazimnya, jika pimpinan konsorsium mengundurkan diri, maka seluruh anggota konsorsium juga mengundurkan diri juga, agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Namun entah alasan apa Pertamina tetap melanjutkanya," ungkap Yusri.
Karena, kata Yusri, sejak awal proses tender, HEC tidak layak menjadi leader konsorsium karena kekurangan pengalaman dalam membangun proyek sejenis sesuai spesifikasi yang diminta oleh Pertamina. Tetapi Pertamina tetap memaksakan HEC melanjutkan project RDMP tersebut tanpa kehadiran leader konsorsium yang lebih berpengalaman.
"Informasinya, BPKP sekarang sedang melakukan audit terhadap semua proses tender dan pelaksanaan pekerjaan RDMP Balikpapan. Infonya, telah ditemukan perubahan basic design setelah dinyatakan pemenang. Secara aturan dan perundang undangan jasa konstruksi, apabila ada perubahan Basic Design maka seharusnya dilakukan retender," beber Yusri.
Karena, lanjut Yusri, ditakutkan pemenang tender akan mengajukan harga yang berbeda lagi dari yang awal dan potensi harga satuan membengkak. Tentu saja itu akan mengakibatkan kerugian negara. Dan betul saja, di proyek tersebut terjadi peningkatan biaya pembangunan melampaui 10% dari nilai awal kontrak EPC antara Pertamina dengan Konsorsium Hyundai EC.
"Sebaiknya penegak hukum harus turun tangan juga untuk memeriksa kerugian negara yang telah terjadi di project RDMP Balikpapan tersebut," kata Yusri.
Hal tersebut, kata Yusri, jelas melanggar Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yakni di Pasal 54 tentang perubahan kontrak, disebutkan pada ayat 2 tegas dikatakan perubahan nilai kontrak tidak boleh melebih 10% dari nilai kontrak awal. "Apa ini bukan cilaka duabelas?," kata Yusri.
Fakta lainnya, menurut Yusri, di dalam tim tender saat awal proses tender hingga evaluasi tender, ternyata saat itu terdapat person staff Pertamina berinisial ADB, yang kemudian menjadi direktur utama di perusahaan BUMN yang merupakan anggota konsorsium yang telah dimenangkan sekarang.
"Tentu hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari pihak pihak kompetitor bahwa tim tender bekerja syarat dengan kepentingan pihak tertentu, dan diduga telah terjadi konflik kepentingan," kata Yusri.
Menurut Yusri, terpantau juga, PT Rekayasa Industri ternyata telah gagal menepati waktunya cukup lama dalam pelaksanaan RCC off Gas Conversion to Propylene Project (ROPP) Kilang Balongan. Sehingga menurut hasil audit BPK RI akibat keterlambatan itu, Pertamina kehilangan pendapatannya USD 43,58 juta, awal temuannya USD 139,11 juta.
Sementara, kata Yusri, pernyataan corporate secretary PT Kilang Pertamina Internartional Ifki Sukarya dalam menjawab pertanyaan media Urbannews.id baru-baru ini, bukannya menjawab persoalan yang ditanya, malah menimbulkan pertanyaan baru lagi, dan semakin tak terjawab.
"Oleh sebab itu, jika tim tender Pertamina Kilang tetap memaksa kehendak tetap dengan keputusannya yang memang banyak masalahnya, kami menduga produk keputusannya akan digugat kompetitornya, dan itu sangat merugikan Pertamina sehingga terlambat membangun kilang dan mendapat image buruk dari kontraktor EPC dunia, sehingga akan diklaim bahwa tender di Pertamina tidak fair," ulas Yusri.
"Penegak Hukum harus pro aktif menyelidiki semua informasi terkait proyek RDMP Balikpapan yang bisa berpontensi bermasalah akan berdampak pada proyek pembangunan kilang olefin TPPI Tuban, jika salah menunjuk pelaksana DBC. Termasuk menelisik oknum oknum elit politik dan oknum badan pemeriksa yang patut diduga selalu menekan direksi Pertamina untuk melanggar prinsip good corporate governance (GCG)," ungkap Yusri lagi. *(rls)