Saiful Mujani: Pemikiran Cak Nur dan Gus Dur Perlu Diaktualkan Kembali

photo author
- Kamis, 20 Agustus 2020 | 18:37 WIB
images (24)
images (24)


Jakarta,Klikanggaran.com - Reaktualisasi pemikiran para pembaru Islam Indonesia seperti mendiang Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dinilai penting untuk membendung arus populisme Islam yang merusak kualitas demokrasi.


Demikian salah satu kesimpulan yang muncul dalam orasi kebangsan Saiful Mujani, Ph.D, yang diselenggarakan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18 Agustus 2020.


Saiful menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah karena alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebjakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam.


Menurut Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini ancaman populisme Islam dan Islamisasi Indonesia harus menjadi perhatian sungguh-sungguh bagi siapa pun yang peduli bagi keberlangsung negara-bangsa ini.


“Langkah mendasar pertama adalah pendekatan kebudayaan atau pendidikan,” ungkap Saiful.


Pendiri lembaga penelitian dan konsultansi politik SMRC ini menyatakan bahwa pendekatan kebudayaan dan pendidikan ini adalah dengan reaktualisasi pemikiran-pemikiran keislaman yang dapat menjadi sumber kultural untuk kembali merajut kebinekaan kita yang sudah mulai terkoyak itu.


Saiful mengusulkan agar pemikiran-pemikiran keislaman yang terbuka disuarakan kembali melalui pelbagai forum, kelompok-kelompok sosial, dan lembaga pendidikan terutama pergurun tinggi


Pemikiran-pemikiran keislaman yang dimaksud adalah antara lain berasal dari pemikiran Cak Nur dan Gus Dur.


“Pemikiran Nurcholish Madjid yang saya maksud adalah apa yang saya sebut sebagai ide 'desakralisasi kehidupan dunia sosial'. Sementara pemikiran Abdurrahman Wahid adalah 'Pribumisasi Islam'", tegas Saiful.


Dalam pidato yang disiarkan langsung melalui sejumlah aplikasi daring itu, Saiful menjelaskan pemikiran Cak Nur mengenai desakralisasi kehidupan dunia sosial. Sebagai orang yang beriman, Cak Nur percaya tidak ada yang salah pada dokrin-doktrin dasar Islam.


"Keterbelakangan itu karena umat Islam secara umum telah lama mengidentikan budaya dan tradisi yang terbelakang yang menyelimuti hidup umat sehari-hari, yang merupakan ciptaan sejarah, hasil tafsiran terhadap Islam yang ketinggalan zaman, dengan doktrin-doktrin dasar Islam," jelasnya.

Saiful melanjutkan bahwa de-sakralisasi kehidupan sosial (social world) secara luas adalah membedakan antara yang sakral dan profan, antara yang ilahiah dan yang duniawi, antara doktrin-doktrin dasar Islam dan tatanan kehidupan sosial yang diciptakan manusia dalam sejarah.


"Doktrin-doktrin dasar itu universal, sementara tafsiran terhadapnya yang menciptakan tatanan kehidupan sosial adalah ciptaaan manusia yang bersifat hadis, baru, temporer, dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman yang bersifat niscaya," tutur Saiful.


"Bila Islam diidentikan dengan yang tidak sakral, yang merupakan ciptaan manusia seperti partai atau negara, maka Islam akan lenyap dimakan zaman, dimakan sejarah, atau Islam akan identik dengan masa lalu yang sudah terbelakang," sambungnya.


Saiful menambahkan bahwa wujud de-sakralisasi dalam kehidupan kebangsaan kita adalah membedakan antara doktrin dasar Islam yang sakral dengan kenyataan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang merupakan produk sejarah bangsa Indonesia yang bersifat dinamis, yang dibangun dari keragaman budaya, adat isitiadat, suku-bangsa, agama, dan faham kegamaan. Indonesia tidak sakral dan tidak boleh disakralkan. Ia ciptaan kolektif manusia Nusantara dengan segala keragaman karakteristiknya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

X