Sempat terjadi momen menegangkan pada 22 Mei malam. Saat itu, ada berpakaian perempuan serba hitam, membawa tas, berjalan kaki menuju barisan aparat dari arah Monas.
Orang tersebut dicurigai membawa bom, sehingga kepolisian meminta berhenti dari kejauhan. Senapan sudah dibidik ke arah orang yang tak mau berhenti tersebut.
Jarak semakin dekat. Polisi lalu menembakkan gas air mata ke kaki orang misterius itu. Alih-alih menyerahkan diri, dia lalu berjalan lagi ke arah Monas.
Bentrokan masih berlangsung hingga 23 Mei dini hari. Hingga kemudian, polisi melakukan tindakan ofensif. Sudah terlalu lama imbauan kepolisian untuk membubarkan diri diabaikan. Aparat lalu menyerbu barisan massa. Ratusan orang diciduk.
Bentrokan lantas mereda. Kondisi di perempatan Sarinah berantakan. Batu kayu dan benda-benda lainnya serta sejumlah sepeda motor berserakan. Beberapa bangunan juga mengalami kerusakan.
Setelah itu, Kepolisian menghelat konferensi pers. Muhammad Iqbal, yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Humas Polri menyatakan telah menangkap 442 orang beserta barang bukti senjata tajam dan molotov. Beberapa hari kemudian disampaikan ada 456 orang yang ditangkap.
"Jadi, pada aksi massa 21-22 Mei itu ada dua segmen. Pertama, massa peserta aksi damai yang spontanitas. Kedua, massa perusuh yang sengaja menyusup untuk membuat rusuh," kata Iqbal.
Buntut Rivalitas Pilpres 2019
Kerusuan 21-22 Mei di Jakarta mencoreng penyelenggaraan pemilu yang sejak reformasi tidak pernah berbuntut bentrokan. Baru Pemilu 2019 terjadi hingga ratusan orang ditangkap hanya dalam hitungan 2 hari.
Pemilu 2019 terdiri dari pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang digelar serentak. Meski demikian, publik lebih menyoroti pilpres yang mempertemukan pasangan Jokowi-Ma'ruf versus Prabowo-Sandi.
Rivalitas pendukung kedua paslon sangat tinggi. Dari level elit hingga menular ke akar rumput. Media sosial selalu ramai oleh isu politik. Ujaran kebencian pun kerap dilontarkan kedua pendukung.
Tensi politik Pilpres 2019 sangat tinggi. Apalagi saat ditemukan sejumlah dugaan pelanggaran pemilu seperti pengerahan ASN untuk mendukung paslon tertentu, ketidaknetralan aparat, dan pengerahan kepala daerah serta aparatur pemerintah desa untuk ikut deklarasi dukungan kepada peserta Pilpres 2019.
Temuan dugaan kecurangan itu 'digoreng' sedemikian rupa dengan narasi politik guna meraih emosi publik.
Jokowi - Ma'ruf yang didukung oleh sembilan partai politik kemudian dinyatakan menang di 21 provinsi dengan perolehan suara 85.607.362 atau setara dengan 55,50 persen. Sedangkan Prabowo - Sandi yang diusung empat partai politik menang di 13 provinsi dengan mendapat 68.650.239 suara atau 44,50 persen.
Usai KPU mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara secara manual, sejumlah masyarakat dari berbagai daerah bergerak ke Jakarta dengan titik temu di Gedung Bawaslu. Tujuan mereka satu: Bawaslu menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan dalam gelaran Pilpres 2019 hingga meletus bentrokan 21-22 Mei.